"Banjir dimulai pukul 04.00 (waktu setempat) dan menewaskan delapan orang, termasuk perempuan dan anak-anak," kata Gubernur Arbil, Omid Khoshnaw, dilansir dari AFP, Jumat, 17 Desember 2021.
Sebanyak empat anggota tim pertahanan sipil yang datang untuk membantu warga terluka ketika mobil mereka hanyut.
"Dari delapan orang yang tewas, satu orang meninggal karena tersambar petir, sementara yang lain tenggelam di rumah mereka," kata juru bicara pertahanan sipil Sarkawt Karach.
Ia menambahkan, banyak orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
"Pencarian sedang berlangsung untuk mencari orang hilang," kata Karach. Ia memperingatkan, jumlah korban tewas bisa meningkat.
Khoshnaw meminta warga untuk tinggal di rumah kecuali diperlukan, memperingatkan bahwa hujan lebih lanjut diperkirakan akan terjadi dengan kekhawatiran akan lebih banyak banjir.
Irak telah dilanda serangkaian peristiwa cuaca ekstrem.
Baca juga: Pelaku Penyerangan PM Irak Diduga Anggota Kelompok Bersenjata Syiah
Ini telah mengalami suhu terik dan kekeringan berulang dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga mengalami banjir hebat. Tanah yang keras, ditambah dengan hilangnya vegetasi, berarti bumi tidak menyerap air dengan cepat, dan ketika badai melanda, mereka bisa menjadi banjir bandang.
Para ilmuwan mengatakan perubahan iklim memperkuat cuaca ekstrem, termasuk kekeringan serta potensi peningkatan intensitas badai hujan.
Para ahli telah memperingatkan bahwa rekor curah hujan yang rendah, ditambah dengan perubahan iklim, mengancam bencana sosial dan ekonomi di Irak yang dilanda perang.
"Efek dari curah hujan yang rendah telah diperburuk oleh turunnya permukaan air di sungai Tigris dan Efrat sebagai akibat dari pembangunan bendungan di negara tetangga Turki dan Iran," kata Samah Hadid dari Norwegian Refugee Council (NRC).
Dalam sebuah penelitian, NRC mengatakan setengah dari keluarga yang tinggal di daerah yang terkena dampak kekeringan di Irak membutuhkan bantuan makanan kemanusiaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News