Kebencian terhadap LGBT di Negeri Paman Sam mulai memanas sejak Mahkamah Agung AS melegalkan pernikahan gay setahun lalu -- keputusan historis yang membuat banyak warga konservatif Amerika geram.
Mengibarkan bendera kebebasan religius, sebuah taktik yang digunakan dalam melawan hak melakukan aborsi, para konservatif di AS menggunakan hukum daerah untuk meruntuhkan hak kaum gay.
Negara bagian Mississippi mengizinkan gereja dan perusahaan swasta untuk menolak LGBT, dengan alasan orientasi seksual seperti itu dapat melanggar keyakinan beragama. Hukum lainnya di North Carolina secara spesifik menyerang hak transgender.
Bagi aktivis hak asasi gay Michelangelo Signorile, tragedi Orlando adalah "pengingat masih adanya kebencian terhadap LGBT, dan berbagai bahaya yang mengikutinya."
"Bahkan di tahun 2016, eksistensi kami masih dianggap sebagai ancaman," kata aktivis LGBT Gabe Ortiz, dalam sebuah tulisan di The Washington Post, Senin (13/6/2016), yang dibuat satu hari setelah penembakan di Orlando menewaskan 49 orang dan melukai 53 lainnya.
Pelaku Penembakan Orlando Suarakan Kebencian terhadap Gay

Omar Mateen. (Foto: AFP)
Beragam pertanyaan masih belum terjawab mengenai pembantaian di kelab malam Pulse di Orlando, yang disebut-sebut sebagai penembakan massal terburuk dalam sejarah AS. Salah satunya adalah mengapa pelaku bernama Omar Mateen tega berbuat sekejam itu?
Pihak keluarga dan kerabat mendeskripsikan Mateen, warga AS keturunan Afghanistan, sebagai pria temperamental serta kurang stabil kejiwaannya, dan juga sering memukuli mantan istrinya. Mateen juga disebut sangat tidak suka dengan gay.
Ayah Mateen mengatakan kepada saluran televisi NBC bahwa anaknya merasa sangat geram saat melihat dua pria berciuman di depan istri dan anaknya. "Dia sangat marah," kata Seddique Mateen.
Seorang sahabat dari Mateen, pria 29 tahun yang pernah menjadi petugas keamanan di sebuah perusahaan, juga mengonfirmasi adanya beragam komentar kebencian terhadap gay.
"Saya berhenti bekerja karena semua yang dia katakan (terkait gay) sangat tidak pantas, dan perusahaan tidak berbuat banyak," tutur Daniel Gilroy kepada media lokal.
Chad Griffin, kepala sebuah grup pendukung hak LGBT bernama Kampanye Hak Asasi Manusia, mengatakan kepada MSNBC bahwa "campuran berbahaya" dari kebencian dan mudahnya mendapatkan senjata api telah memungkinkan terjadinya penembakan di Orlando.
Komunitas Gay Diserang

Parade gay di Los Angeles. (Foto: AFP)
Menanggapi penembakan di Orlando, beberapa pejabat Partai Republik lebih mengedepankan topik homoseksualitas sebagai motif potensial, ketimbang fokus terhadap Mateen yang dilaporkan sempat mendeklarasikan kesetiaannya kepada kelompok militan Islamic State (ISIS).
Letnan Gubernur Texas Dan Patrick dari Republik mengutarakan pemikirannya di Twitter. Ia mengutip Galatians 6:7 dari Alkitab: "Jangan tertipu: Tuhan tidak dapat dicemooh: Seorang pria menanggung akibat dari perbuatannya sendiri."
Kemarahan di media sosial menyeruak setelah Patrick menuliskan kalimat tersebut, yang diinterpretasikan bahwa kaum gay adalah pemicu terjadinya serangan di Orlando. Patrick langsung menghapus tweet tersebut.
Tragedi Orlando bukan serangan pertama terhadap komunitas gay di AS. Eric Rudolph, yang berada di balik pengeboman Atlanta Olympics pada 1996, telah menyimpan sebuah bom yang melukai lima orang di bar lesbian.
Menurut analisis kejahatan versi FBI pada 2011, LGBT dua kali lebih mungkin menjadi korban dari kejahatan kebencian ketimbang orang Yahudi atau kulit hitam di AS.
"Kita telah membuat kefanatikan menjadi masalah kebijakan publik. Bukan sesuatu yang mengejutkan saat sikap fanatik seperti itu berujung pada banyak tragedi," ungkap Ortiz, merujuk pada sejumlah aturan kontra LGBT di AS, seperti yang diterapkan Mississippi.
"Aksi kebencian ini bertujuan menebar rasa takut, tapi kita tidak boleh takut," pungkas dia.

Seorang ibu dan anak turut mengenang korban penembakan massal di Orlando. (Foto: AFP)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News