Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy (Kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (Kanan). (AFP)
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy (Kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (Kanan). (AFP)

'Warisan' Appeasement, Alasan Barat Ogah Ukraina Negosiasi dengan Rusia

Riza Aslam Khaeron • 19 November 2024 19:30
Jakarta: Sudah 1.000 hari sejak perang Ukraina dimulai, prospek negosiasi perdamaian masih merupakan hal yang tabu bagi pihak Barat. Baru-baru ini, diplomat tinggi Ukraina memperingatkan agar tidak melakukan appeasement terhadap Rusia.
 
“Putin melihat upaya-upaya ini (untuk memulai pembicaraan) sebagai kelemahan. Yang kita butuhkan sekarang bukanlah kelemahan dan Appeasement. Kita butuh kekuatan,” ucap Yevheniia Filipenko, 19 November 2024, melansir swissinfo.ch.
 
Appeasement seakan-akan memberikan semacam "trauma" kepada orang-orang Barat. Lantas apa itu appeasement?

Untuk mengerti kenapa pihak Barat tidak ingin Ukraina melakukan negosiasi dengan Putin, kita harus mengerti sejarah Appeasement.
 

Latar Belakang Kebijakan Appeasement

Pada 1938, krisis di Sudetenland, wilayah di Cekoslowakia yang berpenduduk mayoritas etnis Jerman, menjadi ujian besar bagi kebijakan appeasement. Hitler menuntut agar wilayah ini diserahkan kepada Jerman, dengan alasan melindungi etnis Jerman yang tinggal di sana.
 
Inggris, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Neville Chamberlain, dan Prancis memutuskan untuk menyetujui tuntutan ini dalam Konferensi Munich pada September 1938. Mereka berharap bahwa konsesi ini akan memuaskan Hitler dan mencegah perang.
 

Konferensi Munich dan Kegagalan Appeasement

Warisan <i>Appeasement</i>, Alasan Barat Ogah Ukraina Negosiasi dengan Rusia
Foto: Neville Chamberlain (Ujung Kiri), Adolf Hitler (Tengah) dan Benito Mussolini di samping. (Bundesarchiv)
 
Konferensi Munich menjadi simbol utama dari kebijakan appeasement. Dalam konferensi ini, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia sepakat bahwa Sudetenland akan diserahkan kepada Jerman, tanpa melibatkan pemerintah Cekoslowakia dalam keputusan tersebut.
 
Perdana Menteri Inggris, Neville Chamberlain, bahkan menyatakan bahwa kesepakatan ini akan membawa "perdamaian untuk zaman kita" ("peace for our time").
 
Namun, kebijakan appeasement ternyata gagal total. Alih-alih puas dengan konsesi ini, Hitler justru merasa lebih kuat dan terdorong untuk melanjutkan ambisinya.
 
Pada Maret 1939, hanya beberapa bulan setelah Konferensi Munich, Jerman menginvasi seluruh wilayah Cekoslowakia, menunjukkan bahwa Hitler tidak pernah berniat untuk menghentikan ekspansinya.
 
Kebijakan appeasement ini, alih-alih mencegah perang, justru memberi waktu bagi Jerman untuk mempersiapkan diri dan memperluas agresinya.
 

Budapest Momerandum

Warisan <i>Appeasement</i>, Alasan Barat Ogah Ukraina Negosiasi dengan Rusia
Foto: Presiden AS, Bill Clinton, Rusia, Yeltsin, dan Ukrania, Kravchuk. (Perpustakaan Presiden AS)
 
Warisan dari appeasement berdasarkan sejarah yang sudah dijelaskan adalah sebuah pertanyaan krusial, apakah kata-kata negara agresor bisa dipercaya?
 
Dalam konteks ini, apakah perjanjian dengan Rusia di bawah Vladimir Putin dapat menghasilkan perdamaian jangka panjang?
 
Mari kita lihat sejarah, pada tahun 1993, Ukraina yang baru saja menjadi negara merdeka pecahan dari Uni Soviet, setuju menyerahkan semua senjata nuklir mereka kepada Rusia dalam perjanjian Budapest Memorandum. Isi perjanjian tersebut di antaranya adalah:
 
1. Menghormati kemerdekaan dan kedaulatan para penandatangan dalam batas-batas yang ada, sesuai dengan prinsip-prinsip dari Akta Akhir CSCE.
 
2. Tidak menggunakan ancaman atau kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara penandatangan, dan tidak menggunakan senjata mereka terhadap negara-negara ini kecuali dalam kasus pertahanan diri atau sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
 
3. Menghindari pemaksaan ekonomi yang bertujuan untuk mempengaruhi kedaulatan Ukraina, Belarus, dan Kazakhstan demi keuntungan tertentu.
 
Lompat ke dua dekade setelahnya, pada tahun 2014, pasukan Rusia melakukan blokade dan penyitaan di berbagai bandara di Krimea. Kemudian yang paling krusial dari itu adalah, aneksasi Krimea yang tentunya merupakan pelanggaran dari Budapest Momerandum.
 

Perjanjian Minsk, Apakah Rusia Bisa Dipercaya?

Warisan <i>Appeasement</i>, Alasan Barat Ogah Ukraina Negosiasi dengan Rusia
Foto: Pemimpin Belarus, Rusia, Jerman, Perancis, dan Ukraina. (Kremlin.ru)
 
Setelah aneksasi Krimea pada tahun 2014, muncul upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik di Ukraina timur melalui Perjanjian Minsk. Perjanjian ini dirancang di bawah mediasi Perancis, Jerman, dan OSCE.
 
Dalam perjanjian tersebut Ukraina dan separatis yang didukung Rusia menyepakati kesepakatan gencatan senjata 12 poin pada September 2014.
 
Ketentuan perjanjian tersebut mencakup pertukaran tahanan, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan penarikan senjata berat. Namun, perjanjian tersebut segera runtuh karena pelanggaran oleh kedua belah pihak
 
Setelah itu, kedua pihak setuju melakukan perjanjian kedua yang disebut sebagai Minsk II pada tahun 2015.
 
Namun, Moskow dan Kyiv menginterpretasikan perjanjian ini secara sangat berbeda, melansir Al-Jazeera, beberapa pengamat menyebut hal ini sebagai Minsk Conundrum.
 
Ukraina melihat perjanjian 2015 sebagai alat untuk memulihkan kendali atas wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak.
 
Ukraina menginginkan gencatan senjata, kontrol atas perbatasan Rusia-Ukraina, pemilihan di Donbas, dan devolusi kekuasaan terbatas kepada separatis, dan lain sebagainya.
 
Rusia melihat perjanjian ini sebagai kewajiban bagi Ukraina untuk memberikan otoritas pemberontak di Donbas otonomi yang luas dan perwakilan di pemerintahan pusat, yang secara efektif memberi Moskow kekuasaan untuk memveto pilihan kebijakan luar negeri Kyiv.
 
Akhirnya, perjanjian ini tidak pernah ditegakkan, dan Rusia mengakui kemerdekaan wilayah Donetsk dan Luhansk dibawah kekuasaan kelompok separatis pada tahun 2022, yang mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk Sekjen PBB, Antonio Guterress.
 
Dalam kasus Minsk, penulis tidak ingin berpihak pada siapapun, namun di mata barat, Rusia yang melanggar perjanjian Minsk terlebih dahulu.
 
"Rusia telah sepenuhnya melanggar Perjanjian Minsk dengan mengakui "kemerdekaan" Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR). Para pemimpin dunia, Uni Eropa, PBB, dan organisasi internasional utama lainnya mengutuk keputusan ini sebagai pelanggaran berat terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina." Tulis EUvsDisinfo tahun 2022.
 
Jadi dimata Barat, jika Ukraina melakukan perjanjian lagi, dimana Ukraina terpaksa menyerahkan wilayah mereka demi perdamaian, maka mereka akan berpotensi mengulangi sejarah, dimana malah memberikan waktu untuk negara agresor pulih dan kembali menyerang di masa depan.
 
Bagaimanapun bagi mereka, Rusia adalah pihak agresor yang berkali-kali yang menjilat ludah sendiri dan melanggar perjanjian yang mereka buat dengan Ukraina.
 
Di mata penulis, jika memang perlu melakukan perjanjian perdamaian, maka harus dipastikan bahwa momentum tersebut tidak digunakan untuk memberi peluang bagi Rusia pulih dan invasi Ukraina kembali di masa depan.
 
Jangan gunakan untuk appease Putin, gunakan untuk capai perdamaian jangka panjang. Jangan ulangi sejarah.
 
Baca Juga:
1000 Hari Sejak Perang Rusia-Ukraina, Besar Kerugian Kedua Negara, Korban Jiwa Capai Jutaan
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan