Israel mendeklarasikan perang sebagai respons atas serangan kilat Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang -- sebagian besar warga sipil -- dan menyandera 250 lainnya.
Serangan kilat Hamas tersebut merupakan yang paling mematikan dalam sejarah Israel dan juga kelompok Yahudi sejak peristiwa Holocaust.
Israel merespons operasi tak terduga dari Hamas tersebut dengan serangan udara intensif selama berminggu-minggu di Jalur Gaza, sebelum kemudian diperluas menjadi invasi darat. Pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa operasi militernya di Gaza adalah untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan semua sandera.
Gempuran tanpa henti Israel di Gaza telah menewaskan lebih 23.000 orang dan membuat kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah terkepung tersebut.
Namun lebih dari tiga bulan sejak perang, Hamas tetap berdiri kokoh dan sisa sandera masih ditahan di Gaza. Militer Israel mengatakan perang akan berlanjut sepanjang tahun 2024.
Serangan Kilat Hamas
Serangan kilat Hamas pada 7 Oktober 2023 mengejutkan Israel, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat negara tersebut terhadap para pemimpinnya.Meski sebagian warga Israel mendukung upaya perang terhadap Hamas, mereka mengalami trauma mendalam. Banyak warga Israel masih mengenang kengerian peristiwa 7 Oktober hingga saat ini.
Poster-poster para sandera yang masih ditahan Hamas dipasang di berbagai ruas jalan di Israel, dan ada sebagian warga yang mengenakan kaus oblong bertuliskan "Bawa Mereka Pulang."
Sejumlah saluran televisi Israel mendedikasikan siarannya untuk meliput perang di Gaza. Mereka menyiarkan kisah-kisah tanpa henti tentang tragedi 7 Oktober, kisah-kisah para sandera dan keluarga mereka, serta pemakaman prajurit yang tewas dalam melawan Hamas.
Hanya ada sedikit diskusi atau simpati atas melonjaknya angka kematian dan memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza dalam siaran televisi di Israel. Rencana pembangunan Gaza pascaperang juga jarang disebutkan.
Ada satu hal yang tetap konstan. Meski para pejabat keamanan Israel telah meminta maaf dan memberi isyarat bahwa mereka akan mengundurkan diri setelah perang, PM Benjamin Netanyahu tetap memegang teguh pendiriannya.
Walau peringkat dukungan publik turun tajam, PM Netanyahu menolak seruan untuk meminta maaf, mundur, atau menyelidiki kegagalan pemerintahannya. PM Netanyahu, yang telah memimpin negara itu selama hampir 15 tahun terakhir, mengatakan akan ada waktu untuk melakukan penyelidikan setelah perang.
Sejarawan Tom Segev mengatakan perang di Gaza akan mengguncang Israel selama bertahun-tahun, dan mungkin beberapa generasi mendatang. Ia mengatakan kegagalan 7 Oktober dan ketidakmampuan membawa pulang para sandera telah mengobarkan perasaan pengkhianatan dan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah.
"Warga Israel ingin perang mereka berjalan dengan baik. Perang ini tidak berjalan dengan baik," kata Tom. "Banyak orang merasa ada sesuatu yang sangat salah di sini," sambung dia.
Kehancuran di Gaza
Kondisi sebelum 7 Oktober sudah begitu sulit di Gaza, setelah dilakukannya blokade ketat Israel dan Mesir usai pengambilalihan kekuasaan oleh Hamas di tahun 2007. Saat ini, di tengah gempuran tanpa henti Israel, Gaza hancur berantakan dan hampir tidak dapat dikenali lagi.Para ahli mengatakan pengeboman Israel adalah salah satu yang paling intens dalam sejarah modern. Otoritas kesehatan Gaza mengatakan jumlah korban jiwa telah melampaui 23.000 orang, atau sekitar 1 persen dari populasi wilayah Palestina. Ribuan orang lainnya masih dinyatakan hilang atau terluka parah.
Lebih dari 80 persen populasi Gaza telah mengungsi, dan puluhan ribu orang kini berdesakan di tenda-tenda luas di wilayah kecil di Gaza selatan yang juga menjadi sasaran serangan Israel.
Jamon Van Den Hoek, pakar pemetaan di Oregon State University, dan rekannya Corey Scher dari Graduate Center City University of New York, memperkirakan bahwa sekitar setengah bangunan di Gaza kemungkinan besar sudah rusak atau hancur, berdasarkan analisis data satelit.
"Skala kemungkinan kerusakan atau kehancuran di Gaza sungguh luar biasa," tulis Van Den Hoek di LinkedIn.
Korban jiwa juga sama mencengangkannya. PBB memperkirakan sekitar seperempat penduduk Gaza menderita kelaparan. Menurut PBB, hanya 15 dari 36 rumah sakit di Gaza yang beroperasi sebagian, sehingga sistem medis bisa dikatakan hampir hancur. Anak-anak di Gaza telah melewatkan sekolah selama berbulan-bulan dan tidak memiliki prospek untuk kembali bersekolah.
"Gaza menjadi tidak bisa dihuni," tulis Kepala Urusan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths.
Gejolak Timur Tengah
Perang Israel-Hamas telah mengguncang seantero Timur Tengah, dan berpotensi meluas menjadi konflik antara aliansi pimpinan Amerika Serikat (AS) melawan beberapa kelompok yang didukung Iran.Selang beberapa waktu usai serangan kilat Hamas pada 7 Oktober, kelompok Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon mulai menyerang Israel, memicu serangan balasan Israel.
Ketegangan terbaru antara Israel dan Hizbullah belum berubah menjadi perang besar-besaran. Namun hal ini hampir saja terjadi, yang terbaru adalah setelah serangan udara pada 2 Januari yang diduga dilakukan Israel dan menewaskan wakil kepala Hamas Saleh al-Arouri di Beirut.
Hizbullah meresponsnya dengan serangan besar-besaran terhadap pangkalan militer Israel, sedangkan Israel telah membunuh beberapa komandan Hizbullah dalam serangan udara yang ditargetkan.
Di saat yang sama, pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman telah melakukan serangkaian serangan terhadap kapal kargo sipil di Laut Merah. Milisi yang didukung Iran juga telah menyerang pasukan AS di Irak dan Suriah.
Amerika Serikat telah mengirimkan kapal perang ke Mediterania dan Laut Merah untuk membendung kekerasan ini.
Pada Kamis malam, militer AS dan Inggris telah mengebom lebih dari 12 sasaran Houthi di Yaman. Kelompok Houthi berjanji akan membalas serangan gabungan AS dan Inggris, yang dikhawatirkan dapat benar-benar memperluas konflik di Timur Tengah.
Baca juga: AS-Inggris Gabung Kekuatan Lancarkan Serangan kepada Houthi di Yaman
Isu Palestina
Sepanjang masa jabatannya, PM Netanyahu berulang kali berupaya mengesampingkan isu Palestina. Ia telah menolak berbagai inisiatif perdamaian, menganggap Otoritas Palestina (PA) yang diakui secara internasional lemah atau tidak relevan, dan mendukung kebijakan yang membuat rakyat Palestina terpecah antara pemerintah yang bersaing di Gaza dan Tepi Barat.Sebaliknya, PM Netanyahu mencoba menormalisasi hubungan dengan negara-negara Arab lainnya dengan harapan dapat mengisolasi warga Palestina dan menekan mereka untuk menerima perjanjian yang tidak memenuhi impian mendirikan negara merdeka. Tepat sebelum tanggal 7 Oktober, PM Netanyahu membanggakan upayanya untuk menjalin hubungan dengan Arab Saudi.
Serangan Hamas, dan meningkatnya kekerasan di Tepi Barat, telah menempatkan konflik Israel-Palestina kembali menjadi pusat perhatian global. Perang tersebut kini menduduki puncak siaran berita di seluruh dunia, dan telah mendorong Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken melakukan empat kunjungan ke Timur Tengah dan mengakibatkan kasus genosida terhadap Israel dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ).
Arab Saudi telah menghidupkan kembali kemungkinan menjalin hubungan dengan Israel, tetapi hanya jika hal ini mencakup pembentukan negara Palestina merdeka dan berdaulat.
"Perkembangan yang menyakitkan dalam 100 hari terakhir telah membuktikan tanpa keraguan bahwa isu Palestina dan rakyat Palestina tidak dapat diabaikan," tegas Nabil Abu Rudeineh, juru bicara dari Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas.
Baca juga: Sidang Dengar Pendapat Genosida Israel di ICJ Berakhir, Apa Selanjutnya?
Rencana Pascaperang?
Ketika perang Israel-Hamas terus berlanjut dan jumlah korban tewas meningkat, tidak ada kepastian kapan pertempuran akan berakhir atau apa yang akan terjadi selanjutnya. Israel mengatakan Hamas tidak bisa mengambil peran dalam masa depan Gaza. Hamas mengatakan pernyataan Israel tersebut hanya ilusi.AS dan komunitas internasional menginginkan revitalisasi Otoritas Palestina untuk memerintah Gaza, dan mengambil langkah menuju Solusi Dua Negara (Two-State Solution). Israel keberatan.
Israel ingin mempertahankan kehadiran militer jangka panjang di Gaza. Namun AS, sekutu utama Israel, tidak ingin Tel Aviv menduduki kembali wilayah terkepung tersebut.
Rekonstruksi Gaza akan memakan waktu bertahun-tahun. Tidak jelas siapa yang akan membayarnya, atau bagaimana bahan-bahan yang dibutuhkan akan memasuki wilayah tersebut melalui titik penyeberangan yang terbatas. Dengan banyaknya bangunan yang hancur, di mana warga Gaza akan tinggal selama proses panjang ini?
"Kehidupan kami 100 hari lalu sungguh luar biasa. Kami punya mobil dan rumah," kata Halima Abu Daqa, seorang wanita Palestina yang mengungsi dari rumahnya di Gaza selatan dan sekarang tinggal di tenda kamp.
"Kami telah kehilangan segalanya. Semuanya telah berubah, dan tidak ada yang tersisa," ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News