Pemakzulan pertama terkait sambungan telepon Trump dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy pada 2019, dan yang kedua mengenai kerusuhan di Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Trump berhasil lolos dalam sidang pemakzulan pertama karena dinyatakan tidak bersalah oleh Senat AS, dan kemungkinan juga akan lolos untuk kali kedua dalam persidangan pekan ini.
Ia juga merupakan presiden pertama dalam sejarah modern AS yang menolak mengakui kekalahan dalam pemilihan umum. Sejak Joe Biden diproyeksikan menang oleh media-media utama AS pada November 2020, Trump menolak mengakui kekalahan dan justru menuding adanya kecurangan masif. Sebelum pemilu pun, pria 74 tahun itu sudah mengantisipasi kekalahan dan mempersiapkan 'pertahanan' bahwa dirinya hanya bisa dikalahkan melalui kecurangan.
Selama ini Trump mengklaim sebagai seseorang yang selalu mampu meraih kemenangan dalam hal apapun. Sebagai pengusaha, ia mengklaim telah mencapai banyak kemenangan dalam mencapai perjanjian atau kesepakatan bisnis.
Mentalitas ini terbawa hingga dirinya menjadi presiden. Trump selalu ingin menang, dan cenderung memandang segala sesuatunya dari sisi bisnis. Mengakui kekalahan dalam pemilu dipandang sebagai sesuatu yang tak dapat diterima oleh egonya dan juga merugikan secara finansial. Bisa dikatakan bahwa 'settingan pabrik' dalam diri Trump memang tidak didesain untuk menerima kekalahan.
Sebenarnya jika dilihat dari sisi positif, semangat pantang menyerah Trump patut dicontoh. Namun dalam konteks pemilu AS 2020, semangat pantang menyerah yang dilakukan Trump sama sekali keliru. Ia menolak mengakui kekalahan dan bertekad untuk terus berjuang atas dasar tuduhan adanya kecurangan masif yang dilakukan Partai Demokrat dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Trump terus mengulang-ulang klaimnya tersebut, dan berusaha keras membalikkan hasil pemilu melalui segala cara. Pernyataan Jaksa Agung William Barr yang menyatakan tidak adanya indikasi kecurangan masif dalam pemilu 2020 tak digubris oleh Trump.
Berbagai usaha Trump dalam membatalkan hasil pemilu mencapai puncaknya pada 6 Januari. Kala itu, kemenangan Biden hendak disahkan Wakil Presiden Mike Pence yang juga menjabat posisi Presiden Senat. Di hari itu Trump menyerukan para pendukungnya untuk "berjuang mati-matian" dalam membela kemenangan yang diklaim telah "dicuri" oleh Biden dan Demokrat. Seruan Trump diartikan para pendukungnya sebagai isyarat untuk segera membatalkan proses pengesahan kemenangan Biden di Gedung Capitol. Mereka pun datang dan menyerbu Gedung Capitol.
Baca: Trump Tuduh Demokrat Berusaha 'Curi' Pilpres AS
Beberapa hari sebelum pengesahan, Trump juga sempat meminta Pence untuk memblokade pengesahan kemenangan Biden. Trump beranggapan Pence memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut, walau pada kenyataannya tidak. Pence pun sudah menegaskan bahwa dirinya tidak punya wewenang untuk menghentikan pengesahan kemenangan Biden. Trump sempat sedikit mengancam dengan mengatakan bahwa dirinya "tidak akan terlalu menyukai" Pence lagi jika pengesahan kemenangan Biden tak dapat dihentikan.
Kemenangan Biden pada akhirnya tetap disahkan walau sempat terjadi kerusuhan yang menewaskan lima orang. Jatuhnya korban jiwa tak juga membuat Trump mengakui kekalahannya. Satu-satunya bentuk pengakuan terhadap kemenangan Biden hanya dapat dilihat dari kesediaannya meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari, walau tanpa menghadiri acara pelantikan Biden. Hingga detik-detik terakhir masa jabatannya pun, Trump tetap tidak mau secara terbuka mengakui kekalahan.
Bagi Trump, mempertahankan dan mengulang-ulang kebohongan merupakan hal menguntungkan demi mempertahankan basis pendukungnya. Ia telah mengungkapkan keinginannya untuk maju dalam pemilu 2024, dan untuk mewujudkan hal tersebut, Trump perlu mempertahankan dukungan dari sekitar 70 juta warga AS. Salah satu cara mempertahankan dukungan itu adalah dengan secara konsisten memposisikan diri sebagai sosok yang kalah karena kecurangan.
Trump diyakini tidak akan pernah mengakui kemenangan Biden, begitu juga dengan para pendukungnya. Sebuah survei terbaru dari lembaga Bright Line Watch menyatakan bahwa hanya sepertiga dari total pendukung Trump yang menerima hasil pemilu 2020. Trump akan terus mengklaim dirinya dicurangi hingga akhir hayat, bahwa ia adalah korban dari sebuah konspirasi besar.
Dengan memposisikan diri sebagai korban kecurangan ini, Trump kemungkinan akan terus melontarkan berbagai pernyataan kontroversial melalui kantor barunya yang dibangun di Florida, setidaknya hingga 2024 mendatang. Ia akan tetap menjadi Trump yang selama ini dikenal publik, dan akan berusaha meraih nominasi calon presiden dari Partai Republik bagi dirinya sendiri atau tokoh lain -- bisa saja adalah anak tertuanya, Donald Trump Jr..
Baca: Siap-Siap, Trump Bisa Calonkan Diri Lagi Pada Pilpres AS 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News