Presiden Tiongkok Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin. (Alexei Druzhinin / Sputnik / AFP)
Presiden Tiongkok Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin. (Alexei Druzhinin / Sputnik / AFP)

Tiongkok di Pusaran Perang Rusia-Ukraina

Harianty • 28 Maret 2022 07:10
Beijing: Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung lebih dari sebulan, dan negosiasi antara kedua belah pihak belum mencapai kemajuan signifikan. Pertempuran sengit juga masih berlangsung. Di saat bersamaan, mata dunia tertuju pada sikap Tiongkok terkait kemelut ini.
 
Pada 24 Februari lalu, Rusia melancarkan invasi ke Ukraina yang disebutnya sebagai "operasi militer khusus." Dalam serangan ini, banyak warga sipil menjadi korban. Rumah sakit, gereja, dan perumahan telah hancur diserang pasukan Rusia, bahkan Presiden Amerika Serikat ?AS?Joe Biden menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai "penjahat perang."
 
Hingga saat ini, jumlah korban tewas belum tercatat dengan jelas. Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Rabu kemarin menyebutkan bahwa ribuan orang tewas, dan ratusan di antaranya adalah anak-anak. Ukraina juga mengklaim telah membunuh 14.000 tentara Rusia.

Sekarang ini, perhatian dunia internasional sedang tertuju kepada sikap Tiongkok terhadap invasi Rusia. Mengapa demikian? Sebab kedua negara ini memiliki hubungan yang cukup mesra.
 
Tiongkok memang menjadi salah satu negara yang mengkritik Rusia atas invasi ke Ukraina, namun Tiongkok pula yang abstain saat pemungutan suara PBB yang mengecam dan mengkritik sanksi ekonomi terhadap Moskow.
 
Seperti dilansir CNBC, saat perang sedang berlangsung, seorang pejabat AS mengatakan Rusia tengah mencari bantuan dengan meminta peralatan militer Tiongkok guna membantu memperkuat serangannya ke Ukraina.
 
Namun hal itu dibantah pemerintah Tiongkok. Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyebut laporan bantuan itu sebagai "disinformasi." Rusia juga menegaskan tidak meminta bantuan militer dari Tiongkok.
 
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Brussel, Belgia, pada 24 Maret lalu mendesak Tiongkok untuk berhenti mendukung agresi militer Rusia dalam bentuk apapun. Sekjen NATO Jens Stoltenberg mengungkapkan bahwa Negeri Tirai Bambu menyokong Rusia dengan menyebarkan kebohongan dan misinformasi, seperti di kutip dari laman JPNN.
 
Tampaknya segala tindak tanduk Tiongkok terhadap invasi Rusia cukup membuat negara Barat ketar-ketir. Baru-baru ini, saat AS dan negara Barat G20 ingin mengeluarkan Rusia dari keanggotaan, Tiongkok dengan tegas mengatakan tidak ada anggota G20 yang memiliki hak mengusir negara lain.
 
Saat menerima wawancara Metro Xinwen, mahasiswa pascasarjana studi Tiongkok kontemporer di Universitas Oxford Inggris, Michael Zhou mengatakan, selama perang Rusia-Ukraina, negara-negara Barat menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi terhadap Rusia. Rusia, yang awalnya menargetkan pertempuran cepat untuk menghindari perubahan opini internasional, saat ini juga berada dalam kondisi tidak menguntungkan dan membutuhkan dukungan Tiongkok.
 
Michael menuturkan, Tiongkok sendiri berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi mereka harus menjaga kemanusiaan dengan membantu Ukraina demi mempertahankan kredibilitas di panggung internasional, sementara di sisi lain Tiongkok memiliki kemitraan strategis erat dengan Rusia. Tiongkok tidak mungkin akan "membuang" Rusia begitu saja.
 
Baca:  Tiongkok Akan Tawarkan Ukraina Lebih Banyak Bantuan Kemanusiaan
 
"Tiongkok dalam posisi cukup dilema, di mana di satu sisi perlu menjaga kemanusiaan untuk membantu Ukraina dan mempertahankan kredibilitasnya di panggung internasional. Di sisi lain, Tiongkok dan Rusia memiliki hubungan diplomasi yang dekat dan tidak akan sepenuhnya meninggalkan Rusia," ungkapnya.
 
Ia menambahkan, kebuntuan saat ini antara Rusia dan Ukraina membutuhkan kerja sama antara Tiongkok dan AS untuk dapat membuka diri dengan cara tercepat dan paling efektif. 
 
Saat dunia sedang dilanda pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina menambah permasalahan baru, hingga membuat negara-negara saling "perang pendapat." Seperti dikatakan oleh Michael Zhou, hal yang dibutuhkan saat ini kerja sama, bukan "saling serang."
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan