Tangisan, teriakan kesakitan, kengerian, seakan mendekam di kota pesisir itu selama 100 hari terakhir. Rudal, bom dan tembakan seakan menjadi kebiasaan setiap hari.
Coba kita bayangkan, bagaimana bisa tidur nyenyak dan tenang kalau kita harus bersembunyi agar tidak ditembak. Bagaimana kita bisa tenang, rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman, malah dibom.
Bagaimana anak-anak bisa tenang dan tertawa saat masa kecil mereka bukannya untuk bermain, tapi dipaksa melihat keluarga dan temannya tewas akibat serangan Zionis.
Sudah 100 hari sejak Zionis menyerang Gaza dengan dalih pertahanan diri. Namun, serangan tak menyasar musuh mereka, melainkan anak-anak yang masih polos, perempuan dan lansia yang sudah tak berdaya.
Selama 100 hari itu pula belum ada solusi menyelesaikan perang ini. Bantuan kemanusiaan datang hanya bisa dinikmati sebagian kecil warga Gaza.
Baca: Gejolak Timur Tengah di 100 Hari Perang Israel-Hamas. |
Akibat perang, warga sipil kelaparan, kesakitan, mereka kehilangan hak untuk hidup dengan nyaman, dan damai. Apa kabar dengan rasa kemanusiaan itu? Bagaimana dengan pemenuhan hak warga sipil, seperti yang kerap digembar-gemborkan negara Barat?
Jawabannya, nihil!
Bahkan, setelah lebih dari dua bulan, Dewan Keamanan PBB baru mengeluarkan resolusi penting, walaupun bukan soal menghentikan kekerasan di sana. Resolusi 2720 yang sangat alot pembahasannya ini menekankan percepatan pengiriman bantuan kepada warga sipil yang menderita di Jalur Gaza.
Resolusi 2720 menuntut pihak-pihak yang berkonflik untuk “mengizinkan, memfasilitasi, dan memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan dengan segera, aman, dan tanpa hambatan dalam skala besar langsung kepada penduduk sipil Palestina di seluruh Jalur Gaza, dan dalam hal ini menyerukan langkah-langkah mendesak untuk segera memungkinkan terjadinya konflik yang aman dan tanpa hambatan, dan memperluas akses kemanusiaan dan menciptakan kondisi untuk penghentian permusuhan yang berkelanjutan.”
Resolusi tersebut menegaskan kembali “komitmen tak tergoyahkan” terhadap visi “Solusi Dua Negara” di mana dua negara demokratis, Israel dan Palestina, hidup berdampingan secara damai dalam batas-batas yang aman dan diakui, konsisten dengan hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan, dan dalam hal ini menekankan pentingnya “menyatukan Jalur Gaza dengan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina.”
Resolusi yang diusulkan, yang diajukan Uni Emirat Arab, mendapat dukungan dari 13 anggota Dewan Keamanan PBB. Sementara Amerika Serikat dan Rusia memilih untuk abstain dalam pemungutan suara di dewan yang beranggotakan 15 orang tersebut.
Dewan Keamanan PBB yang katanya terkuat, nyatanya hanya menjadi 'boneka' negara adidaya. Tidak lebih sebagai alat kepentingan saja. Sudah sepatutnya reformasi Dewan Keamanan dilakukan. Sudah waktunya hak veto untuk kelima negara permanen dicabut, demi dunia yang lebih damai.
Saya rasa masyarakat dunia juga sudah muak dengan muka dua, standar ganda dan kemunafikan para pemimpin negara Barat. Nyata dengan banyaknya demonstrasi, bukan hanya warga Muslim, bahkan orang-orang Yahudi juga menuntut agar perang dihentikan, Palestina merdeka dan menjadi negara yang memiliki haknya sendiri.
Karena mereka paham, Palestina adalah tuan rumah Gaza, Tepi Barat dan wilayah yang banyak dicaplok Israel. Masih banyak pertanyaan di pikiran, ada kepentingan apa lagi sehingga rasa kemanusiaan disingkirkan demi keuntungan pribadi atau kelompok? Apakah nyawa ribuan orang seakan tak ada harganya?
Selama 100 hari ini banyak yang terjadi. Selain perang yang tak kunjung selesai, sempat ada pertukaran tahanan. Namun, meski ratusan tahanan ditukar dengan sandera Hamas, Israel menangkap ratusan orang juga di Tepi Barat. Sama saja bohong!
Perang juga meluas hingga ke Gaza selatan dengan dalih Hamas bersembunyi di wilayah itu juga. Namun, nyatanya yang dibombardir malah rumah sakit dan kamp pengungsi. Lagi-lagi warga sipil yang menjadi korban.
Lebih dari 100 jurnalis juga tewas dalam perang di Gaza. Mereke menjadi sasaran dari serangan Israel. Mereka dibungkam karena menyuguhkan kenyataan di Gaza kepada dunia. Lagi-lagi di mana rasa kemanusiaan?
Negara semacam Inggris, Amerika Serikat yang kerap menyudutkan negara lain karena membahas mengenai HAM, masih terus bungkam, masih terus membantu Israel melawan yang katanya Hamas.
Israel juga katanya tidak menargetkan warga sipil. Namun, bagaimana dengan 80 persen perempuan dan anak-anak yang tewas. Apakah mereka bukan warga sipil?
Sekali lagi, dunia masih kehilangan rasa kemanusiaannya. Dunia masih terus menerapkan standa ganda. Ambisi perang dingin, yang menang yang berkuasa masih tertanam di pikiran kuno para pemimpin.
Berapa lama lagi kita harus hidup di tengah dunia yang terus berperang? Masyarakat dunia harus satu suara, menuntut perubahan agar masyarakat Gaza, dan komunitas internasional bisa kembali hidup dalam damai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News