"Saya yakin hubungan RI dan Kerajaan Inggris akan tetap berjalan dengan baik,” kata Dubes Sukma, dilaporkan dari kantor berita Antara, Jumat 24 Mei 2019.
PM May mengumumkan akan mengundurkan diri pada 7 Juni mendatang. Berbicara di Downing Street, PM May mengaku terhormat dapat melayani masyarakat sebagai PM wanita kedua di Inggris.
Dubes Sukma, mantan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), berharap siapapun PM Inggris selanjutnya dapat melanjutkan kerja keras PM May yang telah dilakukannya sejak tiga tahun terakhir.
"Siapapun perdana menteri baru nanti masalah Brexit dapat diselesaikan,” ujarnya, merujuk pada istilah berpisahnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa.
Sementara itu Dono Widiatmoko, dosen senior dari University of Derby, mengatakan kepada Antara bahwa pengumuman pengunduran diri PM May menjadi puncak setelah kepemimpinannya berulang kali mengalami tekanan akibat ketakberhasilan pemerintah Inggris mendapat dukungan parlemen dalam memformulasikan rancangan Brexit.
Sudah tiga kali PM May mengajukan rancangan rincian mengenai Brexit kepada parlemen, namun kandas tak mendapat persetujuan. "Di dalam internal partai Konservatif-nya pun Theresa May banyak mendapat tantangan," ujar dia.
Kesulitan bagi PM May semakin bertambah seiring dengan pengunduran diri beberapa menteri. Terakhir adalah Andrea Leadsom, pemimpin House of Commons. Ia mundur dari jabatannya karena merasa tidak sesuai lagi dengan proposal May tentang Brexit.
Walau pada awalnya adalah pendukung pilihan tetap bergabung dengan UE saat referendum tahun 2016 lalu, PM May tetap menghormati pilihan rakyat dan mencoba menyelesaikan Brexit.
Namun sampai saat ini, semua usahanya gagal karena rencana bagaimana Inggris secara teknis bisa keluar dari EU belum juga disepakati parlemen.Tantangan berikutnya bagi parlemen Inggris, dan utamanya partai Konservatif, ialah menentukan pengganti PM May.
"Perdana menteri baru harus bisa membawa Inggris keluar dari status quo saat ini," ujar Dono.
Pengganti PM May nantinya harus bisa membuat skema teknis keluar dari EU dan meyakinkan parlemen agar rencana tersebut bisa diterima. Tenggat waktu yang diberikan EU pada akhir Oktober mendatang hanya memberikan waktu yang sempit bagi PM baru.
Sementara itu, banyak dorongan dari partai Liberal Demokrat, partai Buruh, dan juga sebagian anggota partai Konservatif sendiri untuk mengadakan referendum kedua guna mengonfirmasikan apakah benar masyarakat Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa.
"Pemerintah Inggris juga tetap dipusingkan oleh tekanan ekonomi dalam negeri dan global. Semuanya menjadi tantangan Perdana Menteri berikutnya," kata Widiatmoko.
Baca: RI akan Tingkatkan Kerja Sama dengan PM Inggris Mendatang
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News