Pemungutan suara ini digelar di saat Dewan Keamanan PBB menggelar dialog informal mengenai kudeta Myanmar yang terjadi pada 1 Februari lalu.
"Kita tidak bisa tinggal di dunia di mana kudeta militer dianggap sebagai hal yang normal," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebelum pemungutan suara di majelis umum.
"Hal ini sangat tidak bisa diterima," sambungnya, dikutip dari laman Fars pada Sabtu, 19 Juni 2021.
Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan bahwa risiko terjadinya perang sipil berskala besar di Myanmar adalah sesuatu yang nyata usai kudeta.
Ia mendesak komunitas global untuk lebih berkontribusi dalam mendorong penyelesaian konflik di Myanmar.
"Kesempatan untuk membalikkan kudeta militer (di Myanmar) sudah semakin menyempit," ungkap Burgener.
Duta Besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, termasuk salah satu yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB. Ia menentang kudeta dan membantah klaim junta bahwa dirinya sudah tidak lagi mewakili Myanmar.
Meski tidak mengikat, resolusi Majelis Umum PBB merupakan tanda signifikan dari suara oposisi global terhadap kudeta militer di Myanmar. Selain soal embargo, resolusi tersebut juga menyerukan "dihentikannya semua aksi kekerasan terhadap demonstran damai."
"Itu merupakan kecaman paling luas dan universal mengenai situasi di Myanmar sejauh ini," tutur Olof Skoog, Dubes Uni Eropa untuk PBB.
Baca: Kekerasan Meningkat, Pasukan Junta Myanmar Bakar Desa
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News