Kelompok oposisi Boluarte saat ini tengah memobilisasi ribuan pendukungnya ke Lima. Tuntutan mereka adalah pengunduran diri Boluarte, presiden perempuan pertama di Peru.
Unjuk rasa tersebut dilakukan usai pekan paling berdarah terjadi di Peru sejak pecahnya krisis politik pada akhir 2022. Ombudsman Peru melaporkan, setidaknya 42 orang tewas akibat aksi kekerasan di tengah unjuk rasa Peru dalam lima pekan terakhir.
Baca juga: 42 Orang Tewas dalam Aksi Protes, Peru Deklarasikan Status Darurat
Kondisi semakin parah usai ribuan orang dilaporkan sudah bergerak menuju Lima. Laporan radio RPP, sebanyak 3.000 orang bergerak dari Andahuaylas di tenggara Peru menuju Lima.
"Ribuan orang tersebut melanggar status darurat yang berlaku selama 30 hari setelah disahkan pada 14 Januari 2023," lapor AFP.
"Dengan perpanjangan status darurat, maka pemerintah menangguhkan hak konstitusi, seperti kebebasan pergerakan warga," sambungnya.
Larangan dari pemerintah ternyata tidak memadamkan niat para pedemo. Puluhan kelompok demonstran dikabarkan sudah tiba di Lima hari ini.
Para penentang Boluarte itu menyerukan agar lebih banyak warga mengukuti aksi ini, yang disebut mereka dengan nama "rebut kota."
"Kami meminta Dina Boluarte mundur dari jabatan presiden dan kongres ditutup. Kami tidak mau ada lagi yang mati," kata seorang pengunjuk rasa bernama Jasmin Reinoso, memaparkan alasannya ikut demo.
Menanggapi aksi protes besar-besaran yang akan digelar, Perdana Menteri Peru Alberto Otarola menyarankan agar Boluarte mengubah taktik. Ia juga meminta sang presiden untuk membuka peluang dialog.
"Ada kelompok kecil yang dikendalikan dan dibayar pengedar narkoba serta penambang ilegal. Mereka ingin merebut kekuasaan dengan kekuatan," ucap Otarola.
Krisis di Peru dimulai sejak Presiden Pedro Castillo dilengserkan dari jabatan. Castillo dituduh terlibat sejumlah tindakan kriminal, termasuk korupsi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News