Militer Myanmar telah mendeklarasikan status darurat untuk satu tahun ke depan usai menangkap jajaran pejabat negara, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Kudeta terjadi beberapa jam sebelum parlemen Myanmar memulai sesi pertamanya di tahun ini. Militer Myanmar menegaskan bahwa penahanan terhadap Suu Kyi dan lainnya dilakukan karena dugaan "kecurangan pemilu" tahun lalu tak kunjung diselidiki pemerintah.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut kudeta di Myanmar sebagai "pukulan telak terhadap reformasi demokratis" di negara tersebut.
Ia menekankan kembali dukungan kuat PBB terhadap masyarakat Myanmar yang mendambakan penegakan nilai-nilai demokrasi, perdamaian, hak asasi manusia, dan aturan hukum.
Presiden Majelis Umum PBB Volkan Bozkir juga melayangkan hal senada, dan meminta militer Myanmar mematuhi "norma-norma demokratis dan menghormati institusi publik serta otoritas sipil."
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga telah mengekspresikan kekhawatiran atas situasi terkini di Myanmar.
"Indonesia mengimbau penggunaan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya, komitmen pada hukum, kepemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional," ucap Kemenlu RI.
Di Amerika Serikat, Presiden Joe Biden mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Myanmar setelah Negeri Paman Sam mencabutnya sekitar satu dekade lalu.
Saat ini posisi kepala negara Myanmar dipegang Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Satu hari usai kudeta, militer Myanmar mengumumkan perombakan kabinet besar-besaran untuk 11 kementerian.
Baca: Militer Myanmar Umumkan Perombakan Kabinet Besar-besaran
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News