Ia menyebut keamanan Moldova bergantung pada masuknya negara tersebut ke Uni Eropa (UE), bukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang berpotensi memprovokasi Rusia.
Di sisi lain, Gaburici ragu Moldova akan menerima pasokan persenjataan dari Barat. Ini dikarenakan Moldova cenderung memilih sikap yang lebih netral.
Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz mendukung Ukraina dan Moldova untuk masuk menjadi anggota UE. Dukungan disampaikan dalam kunjungan mereka ke ibu kota Ukraina, Kiev, pada Kamis kemarin.
Keputusan meresmikan status negara kandidat Ukraina dan Moldova akan diambil dalam pertemuan puncak UE pekan ini.
"Ketika saya menjabat perdana menteri pada 2015, saya mencoba mendorong menteri pertahanan saya untuk mengurangi pengeluaran untuk pertahanan," kata Gaburici.
"Moldova tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri. Kami memiliki peralatan militer yang sangat terbatas. Beberapa (sudah) sangat ketinggalan zaman. Lebih baik sumber daya ini diinvestasikan ke pendidikan atau infrastruktur," sambungnya, dikutip dari Nikkei Asia, Senin, 20 Juni 2022.
Negara yang terkurung daratan itu memiliki populasi sekitar 2,6 juta jiwa, dengan mayoritas berbahasa Rumania. Namun, terdapat kelompok minoritas berbahasa Rusia yang membentuk wilayah Transnistria dan memisahkan diri dari Moldova. Moskow telah mengirim "penjaga perdamaian" untuk melindungi Transnistria.
Wilayah yang tidak diakui secara internasional itu berbatasan dengan Ukraina. Pelabuhan Odessa berlokasi sekitar 40 kilometer dari Transnistria.
Gaburici pernah menjabat sebagai perdana menteri Moldova pada 2015 dan menteri ekonomi dan infrastruktur pada 2018 dan 2019. Ia menyebut Moldova merupakan negara agraris, dan mengatakan negaranya menggunakan pelabuhan Odessa untuk mengekspor "buah-buahan, sayuran, anggur, wine, dan biji-bijian."
Perdagangan semacam itu menjadi sulit untuk dilakukan dengan adanya blokade angkatan laut Rusia serta ranjau laut yang dipasang oleh pasukan Ukraina untuk mempertahankan diri dari serangan Moskow.
"Kami hidup dengan berbagai kesulitan ini," katanya.
Moldova juga menampung lebih dari 100.000 pengungsi dari Ukraina, dan inflasi telah meningkat menjadi 27 persen.
"Dari sudut pandang ekonomi, pelabuhan Odessa harus dibebaskan dari ranjau laut karena akan memberikan ruang bagi Ukraina dan negara-negara tetangganya untuk mengeluarkan barang-barang mereka. Tetapi dalam hal keamanan, ini adalah pertanyaan yang sangat sulit. Anda melakukan sesuatu untuk memberi makan rakyat, tetapi berisiko tidak melindungi rakyat," ucap Gaburici.
PBB memiliki rencana untuk membuka koridor laut bagi Ukraina untuk mengekspor jutaan ton biji-bijian. PBB berusaha meyakinkan Rusia bahwa rute tersebut tidak akan digunakan untuk memasok senjata ke Ukraina. Tetapi, pembicaraan itu belum membuahkan hasil.
"Ada kekhawatiran jika Rusia mengambil alih Odessa, maka mereka dapat menghubungkan wilayah itu dengan Transnistria," tutur Gaburici.
Seorang jenderal Rusia pada April lalu menyiratkan bahwa operasi Moskow dapat diperluas ke Transnistria.
"Kami tidak memiliki kendali atas wilayah Transnistria dan tidak tahu apa yang terjadi di sana," ujar Gaburici. "Kita sebaiknya tidak memprovokasi siapa pun."
"Saya sangat khawatir dan sangat mencemaskan anak-anak saya, keluarga, orang tua," lanjutnya.
Menurut Gaburici, perang Ukraina bisa dihindari jika kedua belah pihak berkompromi. Ia menambahkan bahwa keanggotaan UE, bukan NATO, akan menjadi sesuatu yang lebih baik bagi Ukraina. (Kaylina Ivani)
Baca: Ledakan Guncang Menara Radio di Wilayah Transnistria yang Didukung Rusia
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News