"UE mengecam keras vonis berlandaskan motif politik ini, yang mengindikasikan kemunduran demokrasi di Myanmar sejak terjadinya kudeta militer pada Februari lalu," kata Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Josep Borrell, dikutip dari Anadolu Agency.
Menurut Borrell, vonis terhadap Aung San Suu Kyi, mantan preside Win Myint, dan bekas Wali Kota Naypyidaw U Myo Aung merepresentasikan "langkah perusakan aturan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar."
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Mengulang seruan sebelumnya, Borrell mendesak junta Myanmar untuk segera membebaskan tanpa syarat semua orang yang ditahan sejak awal kudeta.
Ia juga mengatakan bahwa sejak terjadinya kudeta, masyarakat Myanmar "terus menentang kekuasaan junta militer dan mendemonstrasikan keinginan tak tergoyahkan mereka atas negara yang berjalan di bawah aturan hukum, HAM, dan proses demokratik." Borrell menyayangkan semua desakan tersebut seperti diabaikan begitu saja oleh junta Myanmar.
Borrell juga menekankan kembali dukungan penuh UE terhadap utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan ASEAN yang terus mendorong dialog politik inklusif di Myanmar.
Senin ini, pengadilan militer di Naypyidaw menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Suu Kyi atas dakwaan penghasutan dan pelanggaran aturan Covid-19.
Baca: Aung San Suu Kyi Divonis 4 Tahun Penjara atas Penghasutan
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar menggulingkan pemerintahan sipil dengan alasan telah terjadinya kecurangan dalam pemilu 2020. Beberapa saat setelah kudeta, junta Myanmar langsung menahan Suu Kyi dan sejumlah tokoh politik lainnya.
Aksi protes menentang kudeta pun meletus setelahnya. Menurut data Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 1.100 orang tewas dan 9.000 lainnya ditahan dalam bentrokan antara massa anti-kudeta dan pasukan keamanan.