Moorissa Tjokro, Autopilot Software Engineer atau insinyur perangkat lunak autopilot untuk Tesla. Foto: Moorisa Tjokro/VOA Indonesia
Moorissa Tjokro, Autopilot Software Engineer atau insinyur perangkat lunak autopilot untuk Tesla. Foto: Moorisa Tjokro/VOA Indonesia

Mengenal Moorissa Tjokro, Insinyur Indonesia Penggarap Fitur Autopilot Tesla

Medcom • 22 Desember 2020 09:33

Moorissa mengaku bahwa proses penggarapan fitur ini “benar-benar susah” dan telah memakan jam kerja yang sangat panjang, khususnya untuk tim autopilot, mencapai 60-70 jam seminggu.
 
Walau belum pernah berinteraksi secara langsung dengan CEO Elon Musk, banyak pekerjaan Moorissa yang khusus diserahkan langsung kepadanya.
“Sering ketemu di kantor dan banyak bagian dari kerjaan saya yang memang untuk dia atau untuk dipresentasikan ke dia,” ceritanya.
 
Mengingat tugasnya yang harus menguji perangkat lunak mobil, sebagai karyawan, Moorissa dibekali mobil Tesla yang bisa ia gunakan sehari-hari.
“Karena kerjanya dengan mobil, juga dikasih perk (keuntungan) untuk drive mobilnya juga kemana-mana, biar bisa di testing,” jelas Moorissa.

Perempuan di Dunia STEM Masih Jarang

Prestasi Moorissa di dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik/Engineering, Matematika) memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada 2011, saat baru berusia 16 tahun, Moorissa mendapat beasiswa Wilson and Shannon Technology untuk kuliah di Seattle Central College. Saat itu ia tidak bisa langsung kuliah di institusi besar atau universitas di Amerika, yang memiliki persyaratan umur minimal 18 tahun.

Tahun 2012, Moorissa yang telah memegang gelar Associate Degree atau D3 di bidang sains, lalu melanjutkan kuliah S1 jurusan Teknik Industri dan Statistik, di Georgia Institute of Technology di Atlanta.
 
Selain aktif berorganisasi di kampus, berbagai prestasi pun berhasil diraihnya, antara lain President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech. Tidak hanya itu, ia pun menjadi salah satu lulusan termuda di kampus, di umurnya yang baru 19 tahun, dengan predikat Summa Cum Laude.
 
Setelah lulus S1 tahun dan bekerja selama dua tahun di perusahaan pemasaran dan periklanan, MarkeTeam di Atlanta, tahun 2016 Moorissa lalu melanjutkan pendidikan S2 jurusan Data Science di Columbia University, di New York. Ia pun kembali menoreh prestasi dalam beberapa kompetisi, antara lain, juara 1 di ajang Columbia Annual Data Science Hackathon dan juara 1 di ajang Columbia Impact Hackacton.
 
Kecintaan Moorissa akan bidang matematika dan aljabar sejak dulu telah mendorongnya untuk terjun lebih dalam ke dunia STEM, sebuah bidang yang masih sangat jarang ditekuni oleh perempuan.
 
Berdasarkan data dari National Science Foundation di Amerika Serikat, jumlah perempuan yang memiliki gelar sarjana di bidang teknik dalam 20 tahun terakhir telah meningkat, namun jumlahnya masih tetap di bawah laki-laki.
 
Mengenal Moorissa Tjokro, Insinyur Indonesia Penggarap Fitur Autopilot Tesla
Moorisa Tjokro memiliki kesempatan untuk menguji Tesla. Foto: Moorisa Tjokro/VOA Indonesia.
 

Pada kenyataannya, menurut organisasi nirlaba, American Association of University Women yang bertujuan memajukan kesejahteraan perempuan melalui advokasi, pendidikan, dan penelitian, jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM, hanya 28 persen.
 
Organisasi ini juga mengatakan kesenjangan gender masih sangat tinggi di beberapa pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat dan dengan gaji yang tinggi di masa depan, seperti di bidang ilmu komputer dan teknik atau engineering.
 
Halaman Selanjutnya
Fakta ini terlihat di kantor…
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan