PM Belanda Mark Rutte. (NICOLAS MAETERLINCK / BELGA / AFP)
PM Belanda Mark Rutte. (NICOLAS MAETERLINCK / BELGA / AFP)

Sejumlah Aktivis Kritik Permohonan Maaf Belanda atas Perbudakan Kolonial

Medcom • 21 Desember 2022 17:12
Amsterdam: Di saat banyak aktivis menyambut baik permintaan maaf resmi dari Perdana Menteri Mark Rutte terkait perbudakan Belanda di era kolonial, sejumlah advokat keturunan Afrika Belanda menyebut tindakan tersebut tak cukup dan tidak tepat waktu.
 
"Selama berabad-abad, negara Belanda dan perwakilannya merangsang, memelihara, dan mendapat keuntungan dari perbudakan," ucap Rutte, yang mewakili Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi kanan-tengah di Belanda.
 
"Dan selama berabad-abad, atas nama negara Belanda, manusia dijadikan komoditas, dieksploitasi, dan dilecehkan. Selama berabad-abad, di bawah otoritas negara Belanda, martabat manusia dilanggar dengan cara yang paling mengerikan," sambungnya.

Ia melanjutkan, lebih dari 600.000 perempuan, pria, dan anak-anak Afrika yang diperbudak Belanda telah dikirim ke benua Amerika dalam kondisi yang menyedihkan oleh para pedagang budak. Sebagian besar dari mereka dibawa ke Suriname, tetapi yang lainnya dikirim ke Curaçao, St. Eustatius, dan lokasi lainnya. 
 
"Mereka direnggut dari keluarga mereka dan dilucuti dari kemanusiaan mereka. Mereka diangkut dan diperlakukan seperti ternak. Seringkali di bawah otoritas pemerintah Perusahaan Hindia Barat Belanda. Di Asia, antara 660.000 dan lebih dari satu juta orang bahkan tidak tahu persis berapa banyak diperdagangkan di wilayah-wilayah di bawah kekuasaan VOC," sebut PM Rutte.
 
"Jumlahnya tidak terbayangkan. Penderitaan manusia di belakang mereka, bahkan lebih tak terbayangkan," sambungnya.
 
Belanda menghapus perbudakan pada 1 Juli 1863, enam bulan setelahnya Amerika Serikat. Presiden AS kala itu, Abraham Lincoln, mengeluarkan Proklamasi Emansipasi. Setelah penghapusan, pemerintah Belanda memberi kompensasi kepada mantan pemilik budak atas kehilangan harta benda mereka.
 
Selain permintaan maaf secara resmi, pemerintah Belanda mengatakan akan mengalokasikan €227 juta untuk pendidikan perbudakan dan museum. Beberapa aktivis mengungkapkan kekecewaannya atas angka tersebut. Mereka juga kecewa karena permintaan maaf datang dari seorang perdana menteri, bukan Raja Willem Alexander.
 
Awal bulan ini, Raja Belanda mengumumkan peluncuran studi independen, yang dipimpin Universitas Leiden, untuk menyelidiki peran monarki dalam konteks sejarah kolonial. 
 
"Apakah pemerintah Belanda meminta maaf atas perbudakan atau tidak hari ini, ketidaktahuan akan tindakan itu sendiri sudah terlihat jelas. Dengan meremehkan arti permintaan maaf atas kejahatan terhadap kemanusiaan Rutte, dan aksesorinya untuk kejahatan tersebut, berharap untuk melubangi dan menghalangi seruan reparasi," tulis aktivis bernama Quinsy Gario di Twitter.
 
"Sudah jelas bahwa tidak ada jumlah uang yang cukup untuk dibayarkan pengganti atas perubahan sistemik di masa lalu," tambah Gario.
 
Roy Kaikusi Groenberg dari Honor and Recovery Foundation, sebuah kelompok yang berfokus pada Suriname, mengatakan pernyataan senada kepada media Al Jazeera, yang intinya adalah bahwa permintaan maaf dari PM Rutte belum cukup.
 
Aktivis lain juga menyampaikan kritik, secara spesifik mengenai waktu permohonan maaf. Menurutnya, permohonan maaf sebaiknya disampaikan pada 1 Juli, menandai 150 tahun penghapusan perbudakan.
 
"Belanda harus mengambil pelajaran dari kesepakatan reparasi Jerman yang gagal terkait kejahatan kolonial di Namibia," tegas Teffera. 
 
"Penghitungan yang benar atas kejahatan kolonial, termasuk perbudakan dan bentuk eksploitasi lainnya, membutuhkan reparasi yang berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban dan mengakui dampak kolonialisme saat ini," tambahnya.
 
"Reparasi dapat mengambil banyak bentuk, termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak akan terulang lagi. Mendengarkan komunitas yang terkena dampak merupakan langkah penting dalam menentukan seperti apa bentuk reparasi itu," pungkas Teffera. (Mustafidhotul Ummah)
 
Baca:  Kerajaan Belanda dan 250 Tahun Sejarah Perdagangan Budak
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan