Dalam keterangan kepada Wall Street Journal, Pence mengklaim bahwa setelah Trump meninggalkan Gedung Putih, "pemerintah Afghanistan dan Taliban menguasai wilayah masing-masing dan tidak saling melancarkan serangan berskala besar."
Perjanjian AS-Taliban di era Trump meliputi penarikan semua pasukan Negeri Paman Sam dari Afghanistan pada Mei 2021, larangan kepada Taliban dalam menjadikan Afghanistan sebagai sarang grup teroris, pertukaran tahanan, dan dimulainya negosiasi damai komprehensif.
Pence menilai perjanjian tersebut berlangsung efektif, dan salah satu indikatornya adalah tidak adanya satu pun korban jiwa dari militer AS di Afghanistan dalam kurun waktu 18 bulan.
Namun, saat Biden berkuasa pada Januari tahun ini, Pence berpendapat bahwa sang presiden merusak perjanjian AS-Taliban dengan mengulur tenggat waktu penarikan pasukan yang seharusnya adalah 1 Mei.
"Ia melakukan itu tanpa alasan jelas," kata Pence, dilansir dari laman New York Post, Selasa, 17 Agustus 2021.
"Sepertinya presiden (Biden) memang tidak ingin mematuhi poin-poin dalam perjanjian yang sudah dinegosiasikan presiden pendahulunya," sambung dia
Menurut Pence, pelanggaran yang dilakukan Biden dipandang Taliban sebagai suatu kesempatan. Pence mengatakan bahwa, "mereka (Taliban) tahu bahwa tidak ada ancaman nyata di bawah presiden yang satu ini."
"Kelemahan membangkitkan kejahatan, dan skala kejahatan yang kini muncul di Afghanistan merefleksikan kelemahan Biden," ungkap Pence.
Sebelumnya, Biden tetap membela keputusan menarik pasukan AS dari Afghanistan. Ia menegaskan bahwa menaruh personel militer AS di Afghanistan tidak akan ada artinya jika pasukan lokal tidak bisa berjuang membela negara mereka sendiri.
Baca: Biden Tuduh Afghanistan Tak Mau Lagi Berjuang Melawan Taliban
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News