Untuk memperkuat kekuasaannya, rezim tersebut memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan berikutnya.
Dalam pernyataan bersama, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Inggris, Korea Selatan dan Swiss mengutuk kekerasan terhadap warga sipil di Myanmar.
"Di bawah rezim militer, kekerasan terhadap warga sipil meningkat, dengan ribuan orang dipenjarakan, disiksa dan dibunuh. Serangan udara, pengeboman, dan pembakaran dilakukan untuk menghancurkan infrastruktur sipil, termasuk rumah, sekolah, fasilitas kesehatan dan tempat ibadah,” kata pernyataan bersama tersebut.
“Diskriminasi sistematis terhadap masyarakat sipil kelompok agama dan etnis, termasuk Rohingya, tersebar luas,” lanjut pernyataan itu.
Mereka mendesak agar kekerasan segera diakhiri dan para tahanan politik yang ditahan ‘secara tidak adil’ segera dibebaskan. Pernyataan itu menyerukan agar junta membolehkan akses kemanusiaan penuhi selain menciptakan ruang dialog inklusif dengan seluruh pemangku kepentingan.
“Tiga tahun berjalan sejak kudeta militer, kami tetap bersama rakyat Myanmar dan keinginan mereka untuk demokrasi yang inklusif dan sejati di Myanmar,” kata pernyataan tersebut.
Pada 1 Februari 2021, junta militer Myanmar menggulingkan sekutu mereka sebelumnya, yakni Aung San Suu Kyi dan pemerintahannya, setelah partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangi pemilu pada November 2020.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyuarakan keprihatinan mendalam atas memburuknya situasi di negara Asia Tenggara itu dan mendesak untuk mengembalikan pemerintahan sipil.
Guterres mengutuk segala bentuk kekerasan dan menyerukan perlindungan bagi warga sipil dan penghentian permusuhan.
“Solusi inklusif terhadap krisis ini memerlukan kondisi yang memungkinkan rakyat Myanmar untuk menggunakan hak asasi mereka secara bebas dan damai. Kampanye kekerasan militer yang menargetkan warga sipil dan penindasan politik harus diakhiri, dan mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Guterres.
Sementara itu. Gerakan Pembangkangan Sipil, sebuah kelompok yang muncul setelah kudeta, mengunggah foto di X pada Kamis, yang menunjukkan jalan-jalan kosong dan toko-toko tutup di beberapa bagian negara.
“Rakyat Myanmar setia pada revolusi. Kami tidak pernah menyerah. Masyarakat internasional, mohon dukung aktivis sipil,” tegas gerakan tersebut di X.
Setidaknya 4.474 warga sipil terbunuh dan hampir 20.000 orang ditahan karena alasan politik sejak kudeta 1 Februari 2021, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok pemantau lokal. PBB mengatakan lebih dari 2 juta orang juga telah mengungsi akibat kekerasan tersebut.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima junta, mengatakan pihaknya tidak dapat mencabut keadaan darurat karena pihaknya berurusan dengan kelompok etnis bersenjata di seluruh negeri.
Perpanjangan keadaan darurat juga menunda pemilu yang dijanjikan setelah kudeta.
Baca juga: Kali Pertama Setelah Kudeta, Pejabat Myanmar Hadiri Pertemuan ASEAN
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News