Laporan berjudul "2021 Country Reports on Human Rights Practices" itu mencakup hak-hak individu, sipil, politik, dan pekerja yang diakui secara internasional, seperti yang tertuang dalam Deklarasi Universal HAM dan kesepakatan internasional lainnya.
Mengenai laporan terkait HAM di Indonesia, laporan yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri AS ini turut membahas isu pengungsi khususnya mengenai pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menurut laporan itu, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan organisasi kemanusiaan lainnya dalam memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi, pengungsi yang kembali, atau pencari suaka, serta orang lain yang menjadi perhatian.
Baca juga: Konflik Papua Jadi Salah Satu Sorotan dalam Laporan HAM AS 2021
"Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan tidak mengizinkan pemukiman lokal permanen atau naturalisasi pencari suaka atau orang yang dinilai sebagai pengungsi. Pemerintah mengizinkan pengungsi untuk menetap sementara sambil menunggu pemukiman kembali permanen," sebut laporan tersebut, yang dikutip dari State.gov, Sabtu 16 April 2022.
"Undang-undang di Indonesia mengakui peran UNHCR dalam memproses semua penetapan status pengungsi di negara tersebut," imbuhnya.
Peraturan menetapkan proses manajemen pengungsi yang terperinci, menguraikan tanggung jawab khusus lembaga nasional dan subnasional dari saat kedatangan pengungsi hingga keberangkatan untuk pemukiman kembali atau repatriasi. Pejabat UNHCR melaporkan 13.343 pengungsi dan pencari suaka yang diketahui berada di negara itu pada Agustus.
Namun ditengarai ada dugaan salah urus dalam penanganan pengungsi. Muslim Rohingya sendiri adalah segmen kecil dari populasi pengungsi dan pencari suaka. Warga menurut laporan ini menyatakan bahwa para pengungsi sering ditolak untuk mendapatkan perawatan medis yang layak.
Perwakilan masyarakat menuduh pemerintah secara agresif memantau mereka dan bahwa mereka menghadapi pembatasan ketat atas kebebasan bergerak mereka, misalnya, Rohingya yang menikah dengan penduduk setempat tidak diizinkan meninggalkan perumahan pengungsi dan menghadapi tantangan dalam mencari pekerjaan.
Pada Januari, ratusan Rohingya yang tinggal di sebuah kamp pengungsi di Provinsi Aceh dilaporkan hilang, diduga telah diselundupkan, atau berpotensi diperdagangkan, ke negara tetangga Malaysia. Para pejabat melaporkan bahwa hanya 112 pengungsi yang tersisa di kamp, meskipun hampir 400 tiba antara Juni dan September 2020.