Selama ini pembantaian Armenia merupakan isu sensitif bagi Turki. Ankara mengakui kekejaman memang pernah terjadi di era Ottoman, namun menolak menyebutnya sebagai "genosida."
"Kita mengenang mereka semua yang tewas dalam genosida di Armenia semasa era Ottoman. Kita perlu memperkuat komitmen agar kekejaman semacam itu tidak pernah terulang lagi," ujar Biden, dilansir dari laman BBC pada Minggu, 25 April 2021.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Dan kita perlu mengenang peristiwa ini agar kita selalu waspada terhadap buruknya pengaruh kebencian dalam berbagai bentuk," sambung dia.
Pemerintahan AS sebelum Biden belum pernah menggunakan istilah "genosida" dalam mengeluarkan pernyataan mengenai pembantaian Armenia atas kekhawatiran merusak hubungan bilateral dengan Turki.
Pembantaian di tahun 1915 dimulai dari tuduhan pengkhianatan yang dialamatkan Kekaisaran Ottoman kepada umat Kristiani Armenia usai mereka mengalami kekalahan telak dari pasukan Rusia.
Ottoman pun mulai mendeportasi warga Armenia ke arah gurun pasir Suriah dan tempat lainnya. Ratusan ribu warga Armenia kemudian dibantai, atau meninggal karena kelaparan dan terkena penyakit.
Kekejaman kala itu disaksikan banyak saksi mata, termasuk jurnalis, misionaris, dan diplomat.
Jumlah warga Armenia yang tewas pada 1915 selalu diperdebatkan. Armenia mengatakan jumlahnya mencapai sekitar 1,5 juta, sementara Turki mengestimasi di kisaran 300 ribu.
Menurut pernyataan International Association of Genocide Scholars (IAGS), jumlah korban tewas kala itu mencapai "lebih dari satu juta."
Baca: Menilik Asal-usul Klaim Genosida Armenia
Meski otoritas Turki modern mengaku bahwa kekejaman itu memang terjadi, mereka berkukuh tidak pernah ada upaya sistematis untuk menghancurkan umat Kristiani Armenia. Turki mengatakan, banyak juga Muslim yang tewas saat itu, di tengah kekacauan era Perang Dunia I.
Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu menegaskan bahwa Turki "menolak sepenuhnya" pernyataan Biden. "Siapapun tidak perlu mengajari kami mengenai sejarah negeri ini," tulisnya via Twitter.
Selang beberapa waktu, Kemenlu Turki memanggil Duta Besar AS untuk menyampaikan "reaksi keras" dari Ankara untuk Washington.