"Ada gencatan senjata verbal (antara Prancis dan Turki). Ini adalah hal yang baik, namun belum cukup karena hubungan bilateral kedua negara masih dalam fase pemulihan," ucap Le Drian kepada saluran televisi BFM TV.
"Mengakhiri serangan verbal bukan berarti sudah ada aksi nyata. Kami mengharapkan aksi dari Turki atas isu-isu sensitif, terutama mengenai Libya dan Suriah serta Mediterania imur dan Siprus," sambungnya, dilansir dari laman Middle East Monitor pada Sabtu, 19 Juni 2021.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Mari kita semua lihat apakah Presiden Erdogan tidak hanya telah berubah dalam hal kata-kata, tapi juga aksi nyata," tutur Le-Drian.
Senin kemarin, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah bertemu Erdogan di Brussels pada Senin kemarin. Pertemuan terjadi usai kedua negara bersitegang atas beragam isu.
Macron dan Erdogan kala itu berjanji akan "bekerja bersama" dalam isu Libya dan Suriah.
Prancis dan negara-negara lainnya menyerukan agar pasukan asing dan tentara bayaran ditarik penuh dari Libya. Tujuannya, agar situasi berangsur kondusif dan negara tersebut dapat mencapai perdamaian.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengestimasi jumlah pasukan asing dan tentara bayaran di Libya berkisar 20 ribu hingga akhir 2020.
Oktober lalu, Erdogan pernah menyerang Macron dengan menyarankannya untuk menjalani "pemeriksaan mental." Kala itu Erdogan menuduh Macron sebagai tokoh yang menghasut "kampanye kebencian" terhadap Islam terkait kontroversi kartun Nabi Muhammad.
Baca: Erdogan Kecam Pandangan Macron soal Sekularisme dan Islam