medcom.id, Teheran: Sehari setelah Amerika Serikat (AS) menyebutkan bahwa Iran telah melanggar semangat dari kesepakatan nuklir, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menilai Presiden AS Donald Trump mencoba melobi negara lain untuk melawan Iran.
Hal itu ia katakan dalam sebuah wawancara Menlu Zarif dengan Margaret Brennan dari CBS News pada 18 Juli 2017.
Secara spesifik ia menunjuk pada rapat G-20 di Hamburg, ketika Trump dalam berbagai kesempatan mencoba mencegah pemimpin lain terlibat bisnis dengan Iran.
"Pernyataan ini membuat kesepakatan dalam bahaya, tapi selama kita bisa menemukan solusi untuk menanganinya, kemudian akan ada ketentuan dalam kesepakatan untuk menanganinya" kata Zarif, seperti dikutip CBS News pada Rabu, 19 Juli 2017.
Zarif juga mengatakan bahwa sanksi baru terhadap Iran, yang diumumkan sehari setelah pemerintah meresmikan kesepakatan nuklir tersebut, 'meracuni atmosfer' dan 'melanggar semangat' kesepakatan tersebut.
Ketika ditanya apakah menurutnya AS berusaha membuat Iran menjauh dari kesepakatan, Zarif menjawab, "ya, itulah keinginan mereka."
Namun Iran mempertimbangkan kembali sanksi dengan timbal balik; Zarif menjelaskan bahwa Iran akan 'mungkin' menambah daftar perusahaan AS yang dilarang.
Namun belum ada tanda-tanda bahwa masyarakat Iran siap atau mau meninggalkan kesepakatan nuklir. Zarif mengatakan tidak akan ada negosiasi ulang, dan dia dengan cepat mencatat bahwa orang Amerika bukanlah satu-satunya pemain di sini. Meskipun Trump menyebut kesepakatan itu 'mengerikan' dan mengatakan bahwa hal itu tidak menguntungkan orang Amerika, Zarif membantah bahwa tidak ada kesepakatan yang akan sempurna.
"Tidak ada kesepakatan yang bisa diterima semua orang," kata Zarif.
"Kecuali Anda meletakkan pistol di atas kepala seseorang dan meminta mereka menandatangani kesepakatan menyerah, Anda tidak akan menyukai persyaratan kesepakatan yang dinegosiasikan. Negosiasi berarti memberi dan menerima, dan yang ini tidak hanya melibatkan Iran dan Amerika Serikat, tapi juga lima pemain penting lainnya di komunitas internasional," imbuh Zarif.
Zarif memperingatkan bahwa taruhannya akan jauh lebih tinggi jika Iran kembali ke meja perundingan.
Kemudian Zarif menambahkan, jika perundingan diulang kembali, "tuntutan semua pihak akan sangat berbeda. Jadi, itulah sebabnya mengapa Iran dan semua peserta lainnya dalam perundingan mengatakan dengan sangat jelas bahwa ini bukan kesepakatan yang terbuka untuk negosiasi ulang, karena ini adalah kesepakatan multilateral. Kesepakatan, disetujui oleh Dewan Keamanan, dan ini bukan kesepakatan bilateral untuk ditarik atau untuk dinegosiasi ulang."
Akhir pekan lalu, Iran memvonis seorang warga negara Amerika-China, Xiyue Wang, selama 10 tahun penjara.
"Sebagai menteri luar negeri, saya berusaha melakukan yang terbaik untuk mencegah kasus-kasus semacam ini," kata Zarif. Dia menambahkan bahwa pengadilan bersifat independen, yang pada akhirnya berarti "Pemerintah tidak memiliki kendali atas pengadilan."
"Trump juga merusak hubungan kedua negara dengan larangan perjalanannya. Larangan tersebut, yang melarang warga Iran untuk melakukan perjalanan ke AS, telah 'menghina' seluruh bangsa,"tegasnya.
"Larangan Muslim adalah sebuah penghinaan," kata Zarif. Dia mencatat bahwa orang-orang Iran yang tinggal di A.S. adalah dokter, insinyur dan ilmuwan yang telah memberikan keuntungan pada negara tersebut.
"Saya berpikir bahwa pemerintah AS harus berhenti mengirim semua sinyal permusuhan ini, bukan hanya kepada pemerintah Iran, tapi juga bagi seluruh rakyat Iran, baik di Iran maupun di luar negeri."
Zarif, yang belum berkomunikasi langsung dengan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, mengatakan bahwa ia akan terbuka untuk berdiskusi dengannya. Ia mengatakan bahwa ia belajar selama pemerintahan Obama bahwa jika kedua belah pihak melihat sebuah solusi sebagai "kemenangan diplomasi," percakapan dapat dilakukan. Kini, dengan Trump di kantor, dia melihat harapan kedua negara pada akhirnya mengadakan dialog terbuka.
Iran merasa frustrasi dengan hubungan AS di Gulf, kata Zarif, menuduh AS yang merasa nyaman dengan beberapa aktor seperti Saudi dan Qatar -berdasarkan minat mereka terhadap besarnya kontrak pertahanan.
"Ukuran AS dalam memastikan siapa yang mendukung terorisme adalah apakah mereka membeli senjata dari AS atau tidak. Lihat saja pernyataan yang keluar dalam beberapa minggu ini. Orang-orang yang tidak membeli senjata menjadi pendukung terorisme. Dan begitu mereka sepakat untuk membeli senjata, mereka segera berganti sisi. Apakah itu tolak ukur yang ingin anda terapkan? Atau apakah anda memiliki tolak ukur yang serius?," Kata Zarif.
Dia mencatat bahwa orang-orang Iran tidak terlibat dalam 9/11 dan mereka tidak pernah melakukan serangan teroris ke AS. Hal yang tak terhitung adalah bahwa 15 dari 19 teroris yang melakukan serangan 11 September adalah orang Saudi.
Kebijakan luar negeri Iran dan AS juga saling bertentangan satu sama lain di Irak dan Suriah, meskipun di sini, Zarif mencoba untuk tidak melakukan perselisihan.
"Kami telah terbuka untuk mengenali pilihan yang dibuat oleh tetangga kami," kata Zarif, saat ditanya apakah Iran akan terbuka terhadap permintaan Pemerintah Irak agar pasukan AS tetap berada di negara tersebut. "Kami menghormati keputusan berdaulat tetangga kita," tambahnya.
Menteri Pertahanan AS James Mattis mengatakan bahwa Iran adalah pendukung utama rezim Assad di Suriah. Zarif tidak membantah pernyataan tersebut - namun dia juga mengatakan bahwa Iran telah menjadi sekutu yang teguh dalam perang melawan ISIS, yang dia sebut sebagai "Daesh."
"Satu-satunya alasan mengapa Daesh tidak berada di Damaskus, ibukota sebuah negara, adalah fakta bahwa Iran ada di sana untuk membantu Suriah. Satu-satunya alasan bahwa Daesh tidak duduk di Erbil atau di Baghdad adalah karena fakta bahwa Iran ada di sana untuk membantu. Jadi, anda bisa membingkai masalah itu sesuai keinginan anda. Namun kenyataannya adalah bahwa Iran memiliki kebijakan yang konsisten untuk membantu pemerintah daerah dalam memerangi ekstremisme," kata Zarif.
"Saya percaya Amerika Serikat sedang melihat alamat yang salah," pungkasnya. (Lidya Suzana)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News