Bahkan saat terkepung rapat, penduduk di pinggiran kota dekat Damaskus mengakses makanan dan obat-obatan yang diselundupkan. Juga sejumlah senjata dan uang disimpan para militan yang tinggal di antara mereka dalam pertempuran.
(Baca: PBB Khawatir dengan Serangan Brutal di Ghouta Timur).
Itu terhenti, akhir tahun lalu. Pertama, jalur pasokan makanan jadi lamban. Kemudian, pada Januari, sebuah gudang militer berbasis Yordania diurus oleh Amerika Serikat (AS) yang telah menyediakan senjata kepada dua kelompok militan lalu ditutup.
Transfer tunai reguler terhenti dikirim ke kelompok pemberontak di Suriah. Qatar dan Arab Saudi, yang telah mendukung militan setelah pemberontakan rakyat pada 2011, telah bosan dengan alasan menggulingkan Bashar al-Assad dan pemerintahan Donald Trump tidak lagi ingin berupaya.
Blokade Ghouta, di mana serangan udara Rusia dan Suriah memasuki pekan kedua pada Rabu, sekarang merupakan yang paling melumpuhkan di Suriah. Diperkirakan 350.000 sampai 400.000 orang di bawah bom menjadi kelompok penduduk yang paling putus asa di negara yang hancur lebur.
Ketika pasukan rezim bersiap memberi pukulan akhir, penduduk di dalam Ghouta mengatakan bahwa mereka telah ditinggalkan dalam nasib malang oleh kekuatan regional yang mendorong mereka untuk memberontak pada hari-hari awal yang memabukkan. Namun terus berlanjut saat keuntungan awal mereka berbalik arah, kemudian kalah.
"Mereka tidak memiliki stamina untuk ini," kata Afif Ahmed, seorang pedagang dari Douma di dalam Ghouta. Ia bersembunyi bersama keluarganya di reruntuhan tokonya sejak Minggu. "Iran dan Rusia melakukannya. Paling tidak mereka tidak meninggalkan teman mereka," keluhnya seperti disitir Guardian, Kamis 22 Februari 2018.
Dokter di Ghouta mengungkapkan, 12 fasilitas medis telah dibom,-sebagian besar rusak parah- dalam tiga hari terakhir. Kekerasan tersebut telah digambarkan sebagai yang terburuk di Suriah pada suatu kesempatan dalam tiga tahun terakhir. Klaim bahwa perang tersebut mereda, atau pengungsi telah melarikan diri dari perbatasan Suriah harus mempertanyakan kembali.
"Kejahatan perang yang terang-terangan telah menjadi ciri khas sehari-hari perang di Suriah," kata Susannah Sirkin, direktur kebijakan internasional di Physicians For Human Rights.
"Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa pemerintah Suriah dan Rusia bermaksud untuk menyakiti penduduk sipil di Ghouta timur, yang secara langsung menentang norma-norma kemanusiaan internasional," sambungnya.
"Selama negara-negara di dunia dengan tanggung jawab untuk melindungi gagal bertindak untuk menghentikan kekerasan ini, kita akan melihat kejahatan terhadap kemanusiaan ini berulang kali: pertama di Aleppo, sekarang di Ghouta timur, nanti di Idlib dan Hama," ujar Sirkin.
PBB dan organisasi bantuan lainnya tidak mendapatkan akses ke Ghouta sejak akhir tahun lalu dan telah bersuara semakin nyaring -- dan sejauh ini sia-sia. Mereka meminta pejabat Suriah untuk kembali mengizinkan bantuan masuk. Organisasi tersebut mengatakan bahwa anak-anak telah menjadi sasaran terberat oleh blokade, dengan 11,9 persen balita kekurangan gizi akut.
Meskipun sejumlah makanan tersedia di daerah itu, bahan yang bisa diselundupkan seringkali di luar kemampuan keluarga yang pendapatannya telah jatuh sejak 2013. "Kami tidak punya uang untuk makanan atau pemanas," kata Maha Yassin, ibu dari empat anak asal Ghouta timur.
"Tadi malam ketika pesawat datang lagi, saya berharap mereka mengangkut kami semua," katanya. "Apa yang terjadi selanjutnya akan lebih buruk dari kemarin. Dan kemarin kami tidak tahan," getirnya.
Mereka yang tinggal di Ghouta sedang mempersiapkan hal yang tak terelakkan: invasi darat dengan kekuatan yang setia kepada rezim akan mengusir mereka keluar dari daerah kubu dan masuk ke dalam kubangan lebih dari enam juta orang yang sudah terlantar dan putus asa.
"Rencana permainan adalah mengebom mereka untuk tunduk, seperti Aleppo," kata seorang pemimpin politik Lebanon, mengutip kebijakan disosiasi militer Lebanon dalam konflik Suriah sebagai alasan untuk menutupi namanya.
"Tidak ada yang akan membantu mereka dan masyarakat internasional membiarkan pembantaian tersebut. Orang-orang miskin ini tidak bisa pergi ke Yordania, reruntuhan Deraa, atau Quneitra," katanya, merujuk pada dua kota di selatan Suriah, "atau mungkin perjalanan panjang yang lamban ke Idlib," serunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News