Baca juga: Lima Tewas dalam Protes Menuntut Presiden Sudan Mundur.
Menteri Dalam Negeri Sudan Bushara Aror mengatakan kepada parlemen bahwa 15 warga sipil juga terluka, serta 42 anggota pasukan keamanan, menurut kantor berita pemerintah SUNA.
Protes terhadap pemerintahan Presiden Omar al-Bashir yang telah berkuasa lama, sementara itu, berlanjut di ibu kota Khartoum. Puluhan ribu orang melakukan aksi duduk di markas tentara pada Senin.
Beberapa saksi, termasuk reporter DPA, menyatakan jumlah demonstran mendekati 1 juta orang.
Di hadapan pasukan keamanan yang bersenjata lengkap dan polisi antihuru-hara, pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan untuk mendorong tentara membantu mereka menggulingkan pemerintahan al-Bashir. Beberapa mengusung plakat bertuliskan: "Tentara dan rakyat adalah satu" dan "Satu tentara adalah persatuan."
“Sebelumnya pada Senin, pasukan keamanan tidak berhasil mencoba membubarkan demonstran dengan menggunakan gas air mata. Tetapi tentara turun tangan demi melindungi para pengunjuk rasa,” kata reporter DPA, disiarkan dalam laman Independent, Selasa 9 April 2019.
Pasukan keamanan melukai tiga tentara dan beberapa warga sipil, kata seorang pejabat militer kepada DPA tanpa menyebut nama.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memohon kepada semua yang terlibat supaya menahan diri demi menghindari kekerasan. Dia mengatakan PBB siap mendukung segala upaya menyelesaikan krisis negara secara damai, menurut sebuah pernyataan dari juru bicaranya.
Guterres juga menyerukan "penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia, termasuk kebebasan berkumpul, kebebasan berekspresi, dan pembebasan para demonstran yang ditahan."
Asosiasi Profesional Sudan (SPA) telah menyerukan aksi unjuk rasa yang luas dan pawai di markas tentara pada Sabtu, peringatan ke-34 tahun tergulingnya pemerintahan Gaafar Nimeiry saat itu, 1985.
Militer menyingkirkan Nimeiry sebelum menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah terpilih, yang lantas gilirannya digulingkan oleh Al-Bashir dalam kudeta pada 1989.
Negara Afrika Timur tersebut telah dilanda protes berkelanjutan sejak Desember 2018, ketika kenaikan tajam dalam harga roti dan bahan bakar menyebabkan kemarahan publik.
Ekonomi negara kaya minyak itu sangat menderita ketika berpisah dengan Sudan Selatan pada 2011, dan pemerintah saat ini menghadapi krisis ekonomi selain memerangi beberapa kelompok pemberontak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News