Menurut data Komite Penyelamatan Internasional (IRC), terdapat 58 kasus baru Ebola dalam sepekan terakhir di RD Kongo. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu sepekan sepanjang tahun ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada 610 kematian akibat Ebola, sejak wabah penyakit tersebut dideklarasikan pada Agustus tahun lalu di provinsi Kivu Utara dan Ituri, RD Kongo.
"Sudah hampir tujuh bulan penyakit ini mewabah, dan seharusnya jumlah kasus menurun, bukan meningkat," kata Tariq Riebl, Direktur Respons Darurat IRC di RD Kongo, seperti disitat dari laman TIME, Senin 25 Maret 2019.
"Diperburuk masalah keamanan, sejumlah kasus (Ebola) mungkin tidak akan tercatat, dan angka sesungguhnya bisa lebih tinggi dari saat ini," tambah dia.
Aksi kekerasan oleh sejumlah grup bersenjata di RD Kongo membuat beberapa fasilitas penanganan Ebola ditutup. Hal tersebut mempersulit upaya petugas medis dalam mencegah agar wabah tidak meluas ke daerah lain.
Grup relawan Medecins Sans Frontieres (MSF) menghentikan sementara operasi di RD Kongo sejak 28 Februari. Penutupan dilakukan setelah terjadinya serangan pembakaran di beberapa klink, yang menewaskan sedikitnya satu orang dan membuat sejumlah pasien melarikan diri.
Sejumlah pegawai asal Amerika Serikat juga ditarik dari RD Kongo pada musim panas tahun lalu. Sejak saat itu, AS sudah tidak lagi berkontribusi terhadap upaya penanganan Ebola di RD Kongo.
Pekan kemarin, seorang pasien Ebola meninggal dunia di Bunia, kota besar di provinsi Itturi dengan populasi hampir mencapai satu juta orang.
Wabah Ebola di RD Kongo ini adalah yang terburuk kedua setelah epidemik Afrika pada 2014. Kala itu, wabah Ebola menewaskan lebih dari 11 ribu orang.
"Jika melihat dari sudut pandang optimistis, wabah ini mungkin akan berlangsung hingga enam bulan ke depan. Tapi dari sudut pandang realistis, mungkin kita harus memerangi wabah ini satu tahun ke depan," ungkap Riebl.
Baca: Fasilitas Ebola di RD Kongo Diserang, Satu Polisi Tewas
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News