Rival terdekat Ghazouani, yakni seorang aktivis anti-perbudakan Biram Dah Abeid, berada di posisi kedua dengan 18,58 persen suara. Sementara posisi ketiga ditempati Mohamed Ould Boubacar, capres yang didukung partai Islam terbesar di Mauritania.
"Kami meminta masyarakat Mauritania untuk menolak (hasil pilpres) namun tetap dalam koridor hukum. Hasil ini merupakan kudeta terhadap kehendak rakyat," tutur Abeid dalam sebuah konferensi pers, dikutip dari Al Jazeera, Senin 24 Juni 2019.
Boubacar dan tiga capres lainnya juga menyerukan adanya kecurangan dalam pilpres. "Kami menemukan banyak keanehan yang menghilangkan kredibilitas pemilu," ungkapnya.
"Kami menolak hasil ini, yang kami rasa tidak merefleksikan keinginan masyarakat Mauritania," sambung Boubacar.
Komisi Elektoral Nasional Independen (CENI) melaporkan bahwa tingkat keikutsertaan warga dalam pilpres ini mencapai 62,66 persen.
Lewat raihan suara di atas 50 persen, Ghazouani yang merupakan mantan kepala agensi keamanan domestik, dinyatakan menang tanpa perlu ada pilpres putaran kedua.
Ghazouani telah mendeklarasikan kemenangan sejak Minggu pagi. Deklarasi disampaikannya bersama Presiden petahana Mohamed Ould Abdel Aziz, beberapa pendukungnya dan juga awak media.
Ini merupakan pilpres perdana di Mauritania, negara kecil di Afrika Barat yang mengalami banyak kudeta.
Perbudakan juga menjadi salah satu isu dalam kampanye. Mauritania adalah negara terakhir di dunia yang secara resmi menghapus perbudakan pada 1981, namun tetap berlanjut hingga saat ini.
Baca: Mauritania Gelar Pilpres Perdana usai Kemerdekaan 1960
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News