Berbicara kepada surat kabar Asharq al-Awsat, Griffiths mengatakan "tenggat waktu (penarikan Houthi) telah diperpanjang. Tenggat waktu yang telah disepakati memang cenderung ambisius. Kami sedang menghadapi situasi yang sangat kompleks di lapangan."
Griffiths menolak menyebutkan pihak mana yang menghambat penerapan dari Stockholm Agreement. "Saya meyakini kepemimpinan politik dua kubu di Yaman ini sebenarnya bertekad mengakhiri penderitaan warga," kata Griffiths, seperti dilansir dari laman Guardian, Selasa 29 Januari 2019.
Dalam kesempatan itu, Griffiths juga mengklarifikasi mengenai mundurnya purnawirawan Patrick Cammaert yang ditunjuk PBB untuk mengawasi jalannya gencatan senjata di Hudaidah. Ia menegaskan Cammaert mundur bukan karena berseteru dengan pihaknya, melainkan karena kontraknya dengan PBB berakhir.
Selain itu, Griffiths juga menyebutkan bahwa dirinya menolak seruan dari koalisi pimpinan Arab Saudi untuk mendeklarasikan bahwa gencatan senjata di Hudaidah sudah berakhir. Ia khawatir jika itu dilakukan, maka Arab Saudi dan sekutunya akan kembali mencoba merebut Hudaidah.
Baca: Ketenangan Muncul di Hodeidah Usai Gencatan Senjata Disepakati
Selama hampir empat tahun, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah memberikan dukungan finansial dan militer kepada pemerintahan Yaman yang diakui PBB.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Yaman menyebut Houthi telah menghindari implementasi dari Stockholm Agreement terkait Hudaidah. Houthi juga dituduh menolak membuka koridor kemanusiaan untuk penyaluran bantuan.
Sejumlah menteri Yaman telah bertemu langsung dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Jumat pekan kemarin. Mereka meminta agar Guterres lebih berkontribusi untuk mendorong Houthi menghormati perjanjian terkait Hudaidah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News