Mengibarkan bendera dan mengenakan pakaian berwarna merah, hitam serta hijau, demonstran memadati lapangan Martyrs' Square di Tripoli. Gaddafi pernah beberapa kali berpidato di lapangan tersebut.
Peringatan jatuhnya Gaddafi di ibu kota juga diwarnai suara kembang api serta konser musik. Peringatan serupa digelar di Benghazi, kota terbesar kedua di Libya, meski skalanya tidak terlalu meriah.
Hanya ada ratusan orang berkumpul di lapangan Benghazi, di mana unjuk rasa anti-Gaddafi pertama kali dimulai. Lapangan tersebut sempat menjadi simbol pemberontakan, namun kini hancur akibat perang melawan ekstremis sejak 2014.
"Revolusi ini lahir di jalan-jalan dan lapangan, yang digerakkan para pemuda," ujar Mohamad al-Agouri, seorang warga Benghazi, seperti dikutip dari laman AFP.
Libya dilanda perebutan kekuasaan sejak pemberontakan pada 2011 yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Perebutan kekuasaan terjadi antar faksi militer dan suku tertentu.
Negara kaya minyak itu terbagi antara pemerintahan resmi dengan tandingan. Pemerintahan yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa ada di Tripoli, sementara tandingan berbasis di wilayah timur. Pemerintah tandingan didukung tokoh ternama Khalifa Haftar.
Baca: Fotografer AP Tewas dalam Pertempuran di Libya
Kualitas sejumlah pelayanan publik dasar di Libya menurun drastis sejak 2011, dan perpecahan semakin meningkatkan kekhawatiran dan keputusasaan, terutama di kalangan pemuda.
"Saya sudah tidak sabar melihat Libya stabil lagi dan bisa hidup dengan damai," tutur seorang ahli farmasi Abdelhamid al-Maghrabi kepada AFP.
"Kami sudah cukup merasakan perang, pembantaian dan kehancuran," lanjut bapak empat anak itu.
Sementara itu, militer Amerika Serikat secara teratur melakukan serangan udara di Libya terhadap Al Qaeda dan kelompok Islamic State (ISIS). Kedua kelompok itu mengalihkan fokus mereka di Libya setelah mengalami kekalahan besar di Suriah dan Irak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News