Wakil KLHK Alue Dohong. Foto: Dok KLHK
Wakil KLHK Alue Dohong. Foto: Dok KLHK

Tiga Keberhasilan Indonesia di UNFCCC

Theofilus Ifan Sucipto • 28 Desember 2019 11:12
Jakarta: Konferensi Perubahan Iklim ke-25 (COP25) Chile-Madrid resmi berakhir pada Minggu, 15 Desember 2019. Namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru memaparkan hasil dan kesimpulan COP25 pada Jumat, 27 Desember 2019.
 
Ada tiga poin besar yang menjadi kesuksesan Indonesia dalam konferensi yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu. Pertama, Indonesia bersama negara lain seperti Fiji dan Chile sukses menginisiasi isu lautan pada dunia.
 
“Kedua, kita berhasil mendudukkan orang Indonesia di organisasi UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB),” kata Wakil KLHK Alue Dohong di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, Jumat 27 Desember 2019.

Para perwakilan adalah Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Ratnasari Wargahadibrata dan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK. Ratna masuk sebagai Compliance Commitee under Kyoto Protocol-Enforcement Branch, sedangkan Pras duduk sebagai alternate member of the Local Communities and Indigeneous People Platform (LCIPP) Facilitative Working Group.
 
Alue menambahkan, keberhasilan ketiga adalah Indonesia manjur membahas Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam COP25. Hal itu, kata dia, untuk mendorong target penurunan emisi Indonesia sebanyak 29 persen dan mewujudkan penurunan emisi hingga 41 persen dengan bantuan internasional.
 
“Supaya menjadi mainstream ke depan dalam rangka perwujudan NDC (langkah Indonesia mencapai target) kita ke depan nanti,” ucap Alue dengan mantap.
 
Pembahasan Alot dan Kekecewaan PBB
 
Sejatinya, konferensi yang digelar di Gedung IFEMA, Madrid, Spanyol itu berlangsung mulai Senin 2 Desember hingga Jumat 13 Desember 2019. Namun, pembahasan molor hingga dua hari.
 
“Pembahasannya berlanjut hingga 44 jam,” ungkap National Focal Point Indonesia untuk UNFCCC Ruandha Agung Sugardiman.
 
Ruandha mengaku molornya pembahasan akibat beberapa negara belum sepakat pada beberapa hal, salah satunya artikel enam Kesepakatan Paris. Salah satu poin turunannya adalah membahas standardisasi kerja sama negara maju dan negara berkembang soal lingkungan.
 
Bentuk nyatanya, beberapa negara penghasil karbon seperti Amerika Serikat dan Brazil harus membayar ‘uang perawatan lingkungan’ pada negara berkembang seperti Indonesia. Pasalnya, Indonesia menjadi salah satu paru-paru dunia dengan hutan yang luas.
 
Nantinya, uang perawatan lingkungan digunakan Indonesia untuk membenahi hutan. Pada akhirnya, seluruh negara sama-sama bertanggungjawab menjaga lingkungan.
 
Sayangnya pembahasan tidak berjalan mulus. Negara-negara tersebut merasa keberatan dengan pembiayaan itu. Apalagi, semakin besar karbon yang dihasilkan, semakin besar pula dana yang harus dikucurkan.
 
Sampai konferensi ditutup, pembahasan artikel enam terpaksa dilanjutkan pada COP26 di Glasgow, Inggris pada 9 hingga 20 November 2020. Padahal, pelaksanaan Kesepakatan Paris ditargetkan berlangsung mulai Rabu 1 Januari 2020.
 
Ruandha menjelaskan, Kesepakatan Paris tidak bisa serta merta dijalankan, kendati mayoritas negara setuju. Sebab, sifat COP25 adalah konvensi yang berarti seluruh negara harus sepakat menjalankan.
 
“Kalau ada satu negara saja yang tidak setuju, ya tidak bisa dilaksanakan,” tutur Ruandha.
 
Lantas hal itu menimbulkan ketidakpuasan bagi sejumlah negara, termasuk PBB. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres terang-terangan menyatakan kekecewaannya.
 
“Saya kecewa dengan hasil #COP25,” kata Gutteres singkat seperti dilansir dari situs resmi UNFCCC.
 
Gutteres menilai negara peserta kehilangan kesempatan penting untuk menunjukkan keseriusan di bidang lingkungan. Mulai dari sektor mitigasi, adaptasi, serta keuangan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
 
Dampak dan Tindak Lanjut COP25
 
Alue memaklumi kekecewaan Guterres. Apalagi, pembahasan artikel enam tak kunjung rampung sejak pertama dicetuskan pada COP21 di Paris, Perancis pada 2015.  
 
Dia menyebut ‘kerikil’ pembahasan COP25 sedikit berdampak bagi Indonesia. Namun dia memastikan hasil COP25 tidak akan berdampak pada perubahan kebijakan.
 
Malahan, Alue tetap optimistis pada capaian dan target Indonesia selanjutnya. “Kita dari sisi Indonesia sebagai single country tidak gagal-gagal amat,” ucap pendiri Lembaga Pengkajian, Pendidikan, dan Pelatihan Lingkungan Hidup (LP3LH) itu.
 
Alue mengaku yakin Indonesia bisa memenuhi target penurunan emisi dan pemakaian EBT. Apalagi, lanjut dia, Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.
 
“Kita bagus kalau lebih dulu mencoba pasar karbon domestik untuk mekanisme mewujudkan capaian NDC,” imbuhnya.
 
Kini, Indonesia melalui KLHK telah bersiap menyongsong COP26 Glasgow. Ruandha telah menyusun rencana jangka pendek dan rencana jangka menengah.
 
“Jangka pendek periode Januari sampai Mei 2020, sedangkan jangka menengah dari Juli hingga November 2020,” jelas Ruandha.
 
Dia menjelaskan beberapa rencana jangka pendek adalah penyusunan prinsip dasar posisi Indonesia tentang laut dan perubahan iklim. Sedangkan rencana jangka menengah berupa penyiapan submisi Indonesia untuk COP26.
 
“Juga penyusunan inventarisasi program dan implementasi laut dan perubahan iklim,” ucap Ruandha.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ADN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan