Seperti dilansir The Guardian, Senin (24/10/2016), ia mengklaim mengalami "gangguan kepribadian" atas pembunuhan tersebut.
Rurik Jutting, 31, ditangkap pada 1 November 2014 dini hari, setelah menelepon polisi via telepon ke lantai 31 apartemennya di Wanchai, sebuah distrik kumuh tidak jauh dari pusat finansial Hong Kong.
Di apartemen, petugas menemukan mayat dua pekerja migran yang sudah sering datang ke tempat itu, Sumarti Ningsih 23 tahun, dan Seneng Mujiasih 29 tahun, yang juga dikenal sebagai Jesse Lorena.
Ningsih, ibu satu anak, mengalami sayatan di leher dan pantat. Sedangkan jasad Mujiasih yang membusuk -- diduga telah dibunuh beberapa hari sebelumnya -- dimasukkan ke dalam koper di balkon apartemen.
Tak lama setelah penangkapannya, Jutting dipindahkan ke pusat kejiwaan Siu Lam dengan fasilitas keamanan maksimum untuk tahanan yang membutuhkan perawatan kejiwaan.
Persidangan dimulai pada Senin 24 Oktober pagi. Jutting mengatakan kepada pengadilan tinggi Hong Kong ia tidak bersalah atas pembunuhan itu. Namun, ia mengaku bersalah atas kejahatan secara tidak sengaja dengan alasan cacat mental.

Mobil lapis baja (tengah) membawa Rurik Jutting ke pengadilan, 24 Oktober. (Foto: AFP)
Tim Owen QC, pengacara Inggris yang membela Jutting, mengatakan kasusnya akan didasarkan pada argumen Jutting soal menderita "gangguan kepribadian".
Jaksa John Reading menyebut klaim perilaku psikopat tidak masuk akal karena Jutting pernah menjadi karyawan bergaji tinggi di Bank of America Merrill Lynch.
Terdakwa, yang menempuh pendidikan di sekolah bergengsi Winchester College kemudian melanjutkan ke Peterhouse College, Cambridge, juga mengakui tuduhan ketiga, yakni menghalangi proses penguburan layak bagi kedua korban.
Jutting terlihat kelebihan berat badan dan berantakan dalam berpenampilan dalam sidang sebelum ini. Tapi Reuters mengatakan, ia telah memangkas rambut dan bercukur bersih saat muncul di pengadilan hari ini, dengan mengenakan kemeja biru gelap.
Pembunuhan pada 2014 menjadi sorotan mengenai kesulitan yang diderita oleh 330 ribu lebih pekerja rumah tangga. Mereka, sebagian besar perempuan, telah bermigrasi ke pusat finansial utama di Asia, dari berbagai tempat asal seperti Indonesia dan Filipina.
Menurut sebuah studi yang dirilis awal tahun ini, satu dari enam pekerja tersebut dipaksa bekerja keras selama 71 jam setiap pekan, dan sering menderita kekerasan fisik dan mental yang berat.
Februari tahun lalu, seorang wanita Hong Kong dipenjara lantaran menyiksa pembantu wanita asal Indonesia dengan kekerasan brutal.
Sebuah laporan Amnesty International pada 2013 mengklaim perempuan Indonesia yang datang ke Hong Kong mencari pekerjaan sering terjebak dalam siklus eksploitasi dan dipaksa bekerja dalam kondisi layaknya perbudakan.
Ketika pengadilan terhadap Jutting dimulai pada Senin, para pekerja rumah tangga dan aktivis berkumpul di luar gedung untuk berunjuk rasa. Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Hentikan kekerasan terhadap migran perempuan" dan "Tidak seorang pun berhak untuk membunuh."

Seorang TKW berunjuk rasa mendesak Rurik Jutting dihukum berat. (Foto: AFP)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News