Data terbaru disampaikan Kepolisian Nasional Filipina pada Senin (22/8/2016), satu hari setelah Duterte mempertimbangkan keluar dari keanggotaan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Duterte kesal karena kebijakannya memerangi narkoba disebut sebagai sebuah kejahatan di bawah hukum internasional.
Sejak resmi dilantik menjadi presiden pada Juni, Duterte mengizinkan aparat penegak hukum dan masyarakat untuk tak segan-segan membunuh siapapun yang terlibat kejahatan narkoba.
.jpg)
Presiden Filipina Rodrigo Duterte. (Foto: AFP)
Kepala Kepolisian Nasional Filipina Ronald Dela Rosa mengatakan bahwa 712 pengedar dan pengguna narkoba tewas dalam berbagai operasi. Pihaknya kini juga menginvestigasi 1.067 kasus pembunuhan terkait narkoba di luar operasi kepolisian.
Seperti dikutip Reuters, Dela Rosa menyebut angka 1.800 merupakan data gabungan yang dikumpulkan sejak 1 Juli. Per 21 Agustus, otoritas Filipina menyebut angka kematian tersangka narkoba masih di kisaran 900.

Polisi Filipina bersiap menggelar operasi penggerebekan narkoba. (Foto: AFP)
Senator Leila de Lima, seorang kritikus Duterte, memulai penyelidikan terkait kebijakan kontroversial sang presiden. Ia meminta aparat penegak hukum menjelaskan mengapa angka kematian akibat narkoba dapat melonjak drastis.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay mencoba meredam kekacauan usai Duterte mengancam keluar PBB. Ia mengatakan Filipina masih berkomitmen terhadap PBB meski merasa frustrasi atas kinerja organisasi internasional tersebut.
Yasay juga menegaskan Duterte akan memegang janjinya untuk menghargai hak asasi manusia dalam perang melawan narkotika. Ia menyesalkan mengapa PBB begitu cepat mengambil kesimpulan bahwa "kami telah melanggar HAM."
"Mereka melontarkan pernyataan tak bertanggung jawab berdasarkan tuduhan dari sumber yang tidak jelas tanpa ada substansi berarti," tutur Yasay mengkritik PBB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News