Kaisar Jepang, Akihito turun takhta pada 30 April 2019. (Foto: AFP).
Kaisar Jepang, Akihito turun takhta pada 30 April 2019. (Foto: AFP).

Era Akihito: Perspektif mengenai Pasukan Bela Diri Jepang

Arpan Rahman • 29 April 2019 18:13
Tokyo: Misi Pasukan Bela Diri (SDF) diperluas secara signifikan -- terutama dengan penyebaran pertama di luar negeri -- selama Era Heisei, yang dimulai pada Januari 1989 dan dijadwalkan akan berakhir pada Selasa dengan turun takhtanya Kaisar Akihito.
 
Baca juga: Akhir Sebuah Zaman di Jepang, Kaisar Siap Turun Takhta.
 
Sejak pengiriman pertama ke luar negeri 28 tahun lalu, misi mancanegara SDF yang berpusat pada operasi pemeliharaan perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menjadi semakin akrab bagi banyak orang Jepang.

Tetapi masih ada kekhawatiran yang kuat di negara itu atas peran SDF yang diperluas. Banyak yang mempertanyakan apakah itu sejalan dengan Konstitusi pasifis dan yang menentang pengirimannya ke luar negeri karena risiko dan kurangnya transparansi operasi.
 
Disitir dari laman Japan Times, Minggu 28 April 2019, selama Perang Teluk pada 1991, tahun ketiga Heisei, Jepang dikritik oleh komunitas internasional karena keputusannya untuk tidak mengirim pasukan SDF, karena kendala konstitusional, meskipun memberikan bantuan keuangan sebesar USD13 miliar.
 
“Kemudian pada tahun yang sama, setelah perang berakhir, Jepang mengirim SDF pada misi penyapu ranjau di Teluk Persia, yang menandai operasi luar negeri perdana,” laporan Japan Times.
 
Undang-undang kerja sama pemeliharaan perdamaian yang penting, memungkinkan pasukan SDF terlibat dalam operasi pemeliharaan perdamaian PBB, diberlakukan setahun berikutnya, pada Juni 1992. Pada September tahun itu, pemerintah mengirim pasukan SDF ke Kamboja sebagai pengiriman pertama berdasarkan undang-undang baru.
 
Kegiatan SDF di mancanegara telah diperluas, dan total 60.000 personel militer Jepang telah dikirim ke luar negeri sejauh ini untuk ambil bagian dalam berbagai misi.
 
Itu termasuk operasi pengisian bahan bakar maritim di Samudera Hindia di bawah undang-undang tahun 2001 guna membantu perang melawan terorisme yang dipimpin Amerika Serikat di Afghanistan; menyediakan rekonstruksi dan bantuan kemanusiaan dalam perang Irak di bawah undang-undang khusus pada 2003; operasi anti-pembajakan di Teluk Aden di lepas pantai Somalia sejak 2009 dan bantuan darurat internasional demi operasi bantuan bencana.
 
Sementara pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe tampak tertarik untuk memperluas misi SDF di luar negeri, berdasarkan konsepnya "pasifisme proaktif," banyak orang Jepang tetap skeptis, terutama setelah skandal rahasia muncul pada 2017 yang melibatkan aktivitas harian dari pasukan SDF yang dikirim ke Sudan Selatan untuk operasi penjaga perdamaian PBB.
 
“Kegagalan pemerintah memberi penjelasan yang akurat telah meningkatkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap peran SDF yang diperluas,” imbuh laporan Japan Times.
 
Selama misi SDF di Irak, Perdana Menteri saat itu Junichiro Koizumi mengatakan bahwa "area di mana personel SDF beroperasi adalah area non-tempur," tanpa menguraikan definisi "area non-tempur" tersebut.
 
Ketika Jepang memutuskan untuk menarik pasukan SDF dari Sudan Selatan pada 2017, Abe membantah bahwa keputusan itu disebabkan memburuknya keamanan di wilayah itu, meskipun menggunakan beberapa kata ‘pertempuran’, dan deskripsi situasi keamanan yang memburuk, dalam catatan harian pasukan itu.
 
Jepang belum mengirim pasukan SDF ke misi penjaga perdamaian AS sejak penarikan dari Sudan Selatan karena meningkatnya risiko bahwa fokus misi bisa beralih dari memantau gencatan senjata sampai ke melindungi warga sipil, yang mungkin melibatkan penggunaan senjata.
 
Sebagai gantinya, Jepang telah menerima permintaan untuk mengirim petugas SDF dalam peran komando pada misi AS, serta untuk memberikan dukungan bagi pasukan asing yang terlibat dalam pengembangan sumber daya manusia.
 
Sebagai bagian dari kegiatan pengembangan sumber daya manusia, pasukan SDF darat, sejak 2015, telah mengajarkan unit-unit teknik militer dari negara-negara Afrika yang terlibat dalam operasi pemeliharaan perdamaian cara mengoperasikan mesin-mesin berat.
 
“Sejak akhir tahun lalu, menuruti permintaan dari PBB, SDF juga telah terlibat dalam pekerjaan untuk merevisi manual bagi para insinyur yang ambil bagian dalam operasi pemeliharaan perdamaian,” isi laporan itu.
 
“Sebelumnya pada April, pemerintah mengirim dua perwira GSDF ke komando Pasukan Multinasional dan Pengamat di Semenanjung Sinai, yang memantau perbatasan Mesir-Israel,” tulis Japan Times.
 
Pengiriman itu adalah kasus pertama dari apa yang disebut kegiatan kerja sama perdamaian dan keamanan internasional, yang memungkinkan SDF ambil bagian dalam misi di luar PBB, di bawah undang-undang keamanan nasional yang mulai berlaku pada Maret 2016.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan