Menlu Retno Marsudi (kanan) bersama Menlu Singapura Vivian Balakrishna di Kemenlu RI, Jakarta, Selasa 16 Juli 2019. (Foto: Medcom.id/Marcheilla Ariesta)
Menlu Retno Marsudi (kanan) bersama Menlu Singapura Vivian Balakrishna di Kemenlu RI, Jakarta, Selasa 16 Juli 2019. (Foto: Medcom.id/Marcheilla Ariesta)

Diskusi dengan Singapura, RI Merasa Mampu Atur Ruang Udara

Marcheilla Ariesta • 17 Juli 2019 08:01
Jakarta: Selama ini, Flight Information Region (FIR) atau Wilayah Informasi Penerbangan selalu dikaitkan dengan kedaulatan negara. Namun, pandangan ini dibantah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
 
Kepada awak media di kantornya di Jakarta, Menlu Retno menuturkan FIR sama sekali tak bersinggungan dengan masalah kedaulatan. "FIR itu pengaturan keamanan. Tidak ada sengketa sama sekali mengenai kedaulatan wilayah," tuturnya, Selasa, 16 Juli 2019.
 
Kali ini, pembahasan FIR dilakukan bersama Singapura. Negara kecil di Asia Tenggara tersebut masih memegang sebagian FIR milik Indonesia, terutama di Laut Natuna.

Namun, Menlu Retno sekali lagi menekankan bahwa FIR bukanlah masalah kedaulatan. Meski begitu, FIR bukanlah masalah yang mudah diselesaikan.
 
Apa itu FIR?
 
FIR merupakan pembagian ruang udara terbesar yang masih digunakan hingga saat ini. Merujuk data Kementerian Luar Negeri RI, FIR sudah ada sejak 1946.
       
Pada 1946, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) memberikan FIR wilayah Asia Tenggara -- termasuk Indonesia -- kepada Singapura yang kala itu dikuasai Inggris. Mengapa diberikan kepada Singapura? Karena saat itu, kondisi di Indonesia masih belum menentu pascakemerdekaan 1945.
 
Karena kondisi tersebut, maka FIR Indonesia dipegang Singapura. Namun, kondisi berubah pada 1973. ICAO membagi-bagi FIR dalam beberapa kavling untuk Malaysia, Singapura, dan Indonesia, yang kita ketahui sebagai Jakarta FIR. Tapi FIR untuk Laut Natuna masih dipegang Singapura. Ini disebabkan Natuna masih laut bebas saat itu.
 
FIR dibagi dalam kavling-kavling yang berbentuk kotak, dan mencakup semua atmosfer bumi. Ruang udara negara-negara kecil dicakup oleh satu FIR, contohnya Timor Leste yang masuk ke FIR Indonesia.
 
Sedangkan ruang udara negara-negara besar dibagi lagi menjadi beberapa FIR regional. Indonesia menguasai FIR milik Timor Leste dan Christmas Island, Australia.
 
Sementara itu, kini Indonesia sedang menjajaki pembahasan mengenai ruang udara dengan Singapura, setelah sebelumnya dengan Malaysia. Pembahasan mengenai pengambilalihan FIR ini dilakukan karena Indonesia merasa mampu untuk mengatur wilayah udaranya sendiri.
 
Baca: RI-Singapura Serius Diskusikan Wilayah Informasi Penerbangan
 
Instruksi Presiden
 
Presiden Joko Widodo pada 2015 menginstruksikan untuk memulai pengambilalihan FIR dari Malaysia dan Singapura. Karenanya, selama 2015 hingga 2017, Indonesia melakukan persiapan teknis secara intens, yakni membuka pembicaraan dengan Singapura dan Malaysia.
 
Baru pada 2017 perundingan teknis dimulai. Dan pada 2018, diplomasi teknis dilaksanakan. 
 
Secara prinsip, Malaysia setuju dengan penyusunan kembali FIR Indonesia yang tertuang dalam UU Penerbangan tahun 2009. Karenanya, per Januari 2019, ruang udara Sabah dan perbatasan Malaysia-Indonesia diatur Indonesia.
 
Setelah beres dengan Malaysia, kini Indonesia menjajaki pendekatan teknis dengan Singapura yang dimulai sejak Maret hingga Mei 2019. Pada Selasa, 16 Juli 2019, Menlu Retno dan Menlu Singapura Vivian Balakrishna bertemu untuk pertama kali membahas mengenai FIR ini.
 
"Diskusi secara serius dilakukan, ada kemajuan, tapi saya belum dapat menyampaikan kemajuannya seperti apa. Karena dalam waktu dekat ini Pak Menteri Perhubungan Budi Karya akan berkidim surat meminta untuk melakukan pertemuan langsung dengan mitranya, yakni Menhub Singapura. Keduanya akan membahas proposal (pengambilalihan FIR) Indonesia," kata Retno kepada awak media usai menemui Menlu Vivian.
 
Retno mengakui isu ini bukan masalah mudah karena harus melihat titik temu yang dapat diperoleh untuk dijadikan dasar agar bisa mengalami kemajuan. "Mudah-mudahan secara tahap pertahap akan selalu terjadi kemajuan dan cepat dapat dikonkretkan," harap Retno.
 
Pro dan Kontra
 
Meski demikian, pendapat Kemenlu RI berbeda dengan pengamat penerbangan, Chappy Hakim. Dia menilai bahwa pengambilalihan FIR lebih baik dilakukan dengan pendekatan teknis.
 
Chappy bahkan mengusulkan agar pendekatan teknis itu berupa pendekatan wilayah kedaulatan. Mengutip pakar hukum udara, DR Supri Abu SH MH, Chappy menuliskan bahwa Chicago Convention 1944 pasal 1 menyebutkan, "setiap negara mempunyai kedaulatan yang 'lengkap' dan 'eksklusif'.
 
Ini senada dengan Regulasi ICAO Annex 11 yang mengatakan bahwa negara yang mempunyai kedaulatan yang dapat memberikan pelayanan lalu lintas udara bagi penerbangan. Menurut dia, ini menjadi bukti pengakuan tiap negara akan adanya kedaulatan.
 
"Menurut DR Supri Abu SH MH, kesimpulannya adalah pemberian pelayanan lalu lintas udara berdasarkan wilayah kedaulatan," tutur Chappy.
 
Namun, merujuk pada Chicago Convention 1944 Pasal 2.1.1, disebutkan jika suatu negara mendelegasikan atau memberikan pelayanan navigasi penerbangan wilayah udaranya kepada suatu negara, maka hal tersebut tidak akan mengurangi kedaulatan negara yang akan mendelagasikannya. Ini berarti negara yang memiliki FIR negara lain hanya mengelola masalah teknis dan operasional penerbangan saja.
 
Dalam tulisannya, Chappy mengambil contoh Kamboja yang berhasil mengambil alih FIR dari Thailand. Dimulai dengan pendekatan teknis pada tahun 2000, Kamboja kemudian memberikan 'working paper' kepada ICAO setahun kemudian.
 
Pada 2002, Kamboja, atas dasar kedaulatan berhasil memperoleh hak mengendalikan wilayah udara kedaulatan. Karenanya, langkah untuk mengambil alih kembali ruang udara dari Singapura ke Indonesia masih harus melalui proses panjang.
 
"Setelah melewati pembahasan regional, bilateral, pembahasan ini juga harus disetujui ICAO," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan