Tetapi Amnesty International mengecam hukum gantung Wei Wei, 40, sebagai "noda memalukan terhadap hak asasi manusia setahun sebelum Jepang menjadi tuan rumah Olimpiade".
Jasad korban sekeluarga itu diambil dari laut pada 20 Juni 2003, diborgol dan diberati dengan barbel. Secara mengerikan, salah satu korban Wei, Shinjiro Matsumoto, masih bernafas saat dia dan keluarganya dilempar dari dermaga di Teluk Hakata, dan dia tenggelam, kata harian Asahi Shimbun.
Wei merampok dan membunuh Matsumoto, seorang pemilik toko pakaian, dan istri serta dua anaknya di rumah mereka di Fukuoka karena dia yakin mereka kaya.
Mereka ternyata hanya punya 260 Poundsterling atau Rp4,7 juta. Wei telah bekerja di Jepang sebagai mahasiswa bahasa pada saat terjadi beberapa pembunuhan.
Bersekongkol dengan dua pria Tionghoa lainnya, mantan mahasiswa, ia mencekik Matsumoto, 41, dengan dasi sampai korban pingsan, menurut dokumen pengadilan.
Istrinya, Chika, 40, ditenggelamkan di bak mandi, sementara putra mereka yang berusia 11 tahun, Kai, dan putrinya, Hina, delapan tahun, dicekik ketika mereka tidur.
Dia dan kaki tangannya kemudian membuang jenazah mereka di laut setelah menempelkan beban pada mereka.
Perampokan brutal
Menteri Kehakiman Jepang Masako Mori mengatakan dia telah memerintahkan eksekusi hari ini "setelah pertimbangan cermat".
Menggambarkannya sebagai "kasus yang sangat kejam dan brutal", katanya keluarga itu "hidup bahagia" sampai mereka dibunuh "untuk tujuan mementingkan diri sendiri.
"Ini adalah kejahatan yang sangat kejam. Kami menganggap sangat serius pembunuhan empat orang tak bersalah," serunya, dirilis dari The Sun, Jumat 27 Desember 2019.
Wei Wei digantung hari ini di sebuah pusat penahanan di Fukuoka, di mana dia berada dalam tahanan untuk hukuman mati selama lebih dari 16 tahun.
Dua kaki tangannya diadili di Tiongkok, di mana satu dijatuhi hukuman mati dan yang lainnya dipenjara seumur hidup, menurut kantor berita Jepang Kyodo.
Namun hukum gantung Wei telah dikritik oleh Amnesty International.
Arnold Fang, peneliti untuk Asia Timur, berkata: "Eksekusi hari ini adalah tanda hitam memalukan pada catatan hak asasi manusia Jepang dan mengekspos kurangnya rasa hormat pemerintah terhadap hak untuk hidup.
"Menjelang setahun ketika Jepang akan menjadi tuan rumah Olimpiade, negara ini telah menunjukkan sudah jauh tertinggal dari sebagian besar negara-negara tetangganya. Lebih dari 100 negara di dunia telah sepenuhnya menghapuskan hukuman mati, sementara Jepang tetap bertahan dengan hukuman biadab ini,” sebut Fang.
"Kami mendesak pemerintah Jepang untuk segera menetapkan moratorium resmi atas semua eksekusi dan mempromosikan debat tentang hukuman mati sebagai langkah awal menuju penghapusannya," cetusnya.
Ibu kota Jepang menyelenggarakan Olimpiade dari 24 Juli hingga 9 Agustus 2020.
Memburu banding
Menurut pengacara Wei, ia telah meminta persidangan banding. Sekitar 120 tahanan berada dalam ancaman hukuman mati di Jepang.
Tahun lalu, 15 dieksekusi, jumlah tertinggi selama satu dekade, termasuk 13 mantan anggota kultus kiamat Aum Shinrikyo, yang telah dihukum karena melakukan serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo.
Eksekusi terakhir membawa jumlah total eksekusi sejak Shinzo Abe menjadi Perdana Menteri Jepang pada 2012 menjadi 39 kali. Putaran eksekusi terakhir terjadi di sana pada Agustus 2019.
Vonis mati Wei adalah yang pertama disetujui oleh Menteri Kehakiman Masako Mori, yang diangkat pada Oktober.
Eksekusi biasanya dilakukan dalam kerahasiaan tinggi, di mana tahanan terpidana tidak diberitahu nasib mereka sampai pagi hari mereka digantung.
Sementara Jepang telah mempublikasikan nama-nama terpidana yang dieksekusi dan beberapa rincian kejahatan mereka, sejak 2007, pengungkapan masih terbatas.
Jepang masih mempertahankan hukuman mati meskipun kritik internasional meningkat.
Mori mengatakan dia menandatangani perintah eksekusi setelah pemeriksaan cermat. Dia menambahkan bahwa Jepang adalah negara yang taat hukum dan gantung Wei didasarkan pada sistem peradilan pidana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News