Keputusan ini cukup unik dan membuat Thailand menjadi satu-satunya negara di Asia dengan sengaja bergabung dengan Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia II. Kenapa mereka bergabung? Ini Alasannya
Konteks Sejarah
Thailand memiliki posisi unik di Asia Tenggara. Berbeda dengan negara-negara tetangganya yang dijajah oleh kekuatan Eropa, Thailand tetap merdeka berkat strategi diplomasi Raja Chulalongkorn dan kebijakan modernisasi.Namun, situasi berubah ketika Prancis dan Inggris memperketat kendali mereka di Indochina dan Malaya.
Kolonialisme Prancis di Indochina dimulai pada abad ke-19, dengan pembentukan Indochina Prancis yang meliputi Vietnam, Kamboja, dan Laos. Thailand, yang saat itu dikenal sebagai Siam, mengalami tekanan berat dari Prancis dan Inggris.
Prancis dan Inggris bersaing sengit untuk mendapatkan pengaruh di Asia Tenggara. Thailand menjadi pusat dari rivalitas ini karena posisinya yang strategis di antara Indochina Prancis dan koloni Inggris di Malaya dan Burma.
Prancis kerap menekan Thailand dengan ancaman invasi, termasuk dalam krisis perbatasan Mekong yang membuat Thailand terpaksa menyerahkan lebih banyak wilayah termasuk Laos kepada Prancis pada tahun 1893.
Selain itu, Perjanjian Anglo-Siam 1909 mempertegas kehilangan kendali Siam atas wilayah-wilayah di Semenanjung Malaya, seperti Kedah, Kelantan, Perlis, dan Terengganu, yang dialihkan ke protektorat Inggris.
Sebagai negara penyangga atau "buffer state," Thailand harus menjaga keseimbangan diplomatik antara kekuatan kolonial besar.
Posisi ini memberikan keuntungan berupa kemerdekaan nominal, tetapi juga membatasi kebebasan Thailand dalam mengambil kebijakan internasional.
Ketegangan dengan Prancis meningkat setelah insiden perbatasan di Indochina, mendorong Thailand mencari sekutu yang lebih kuat di tengah ancaman ekspansi kolonial.
Phibun dan Tekanan dari Jepang
Plaek Phibunsongkhram, Perdana Menteri Thailand selama Perang Dunia II, memainkan peran sentral dalam keputusan aliansi dengan Jepang.
Sebagai seorang pemimpin militer dan nasionalis, Phibun berupaya memanfaatkan situasi untuk melindungi kedaulatan Thailand sekaligus memperkuat posisinya di panggung internasional.
Phibun melihat Jepang sebagai mitra strategis yang dapat membantu Thailand mengembalikan wilayah-wilayah yang hilang dan mendukung modernisasi militer negara tersebut.
Phibun memimpin Thailand dengan ideologi nasionalisme yang dipengaruhi oleh gaya fasisme ala Benito Mussolini. Pemerintahannya bersifat otoriter dengan kontrol ketat terhadap media, institusi budaya, dan oposisi politik.
Melalui "Revolusi Kebudayaan Thailand," Phibun mendorong perubahan besar dalam masyarakat, termasuk mengganti nama negara dari Siam menjadi Thailand dan mengadopsi gaya hidup modern ala Barat.
Namun, kebijakan Phibun juga diwarnai dengan rasisme ala Nazi Jerman terhadap etnis Tionghoa yang dia sebut sebagai "Yahudi di Timur" di Thailand.
Ia memberlakukan diskriminasi ekonomi yang meliputi pajak tidak adil, pembatasan peluang kerja, penutupan sekolah-sekolah Tionghoa, dan larangan publikasi surat kabar berbahasa Tionghoa.
Kebijakan ini bertujuan untuk menekan dominasi ekonomi komunitas Tionghoa dan memperkuat kendali pemerintah atas ekonomi nasional.
Selain itu, boykot komunitas Tionghoa terhadap barang-barang Jepang juga dianggap mengancam hubungan ekonomi Thailand dengan Jepang, sehingga Phibun mengambil alih bisnis-bisnis yang sebelumnya dimiliki oleh etnis Tionghoa.
Pada 8 Desember 1941, pasukan Jepang mendarat di beberapa lokasi strategis di Thailand, termasuk Pattani, Songkhla, dan Chumphon. Invasi ini berlangsung singkat namun intens, dengan pertempuran sengit di beberapa daerah sebelum gencatan senjata tercapai dalam waktu lima jam.
Jepang memiliki kepentingan strategis untuk menggunakan Thailand sebagai jalur logistik menuju Malaya dan Burma, dua wilayah penting dalam rencana ekspansi mereka.
Sebagai imbalannya, Jepang menjanjikan pengembalian wilayah-wilayah Thailand yang hilang akibat Perjanjian Anglo-Siam 1909 dan konflik dengan Prancis di Indochina. Iming-iming ini menjadi salah satu alasan utama Phibun menyetujui aliansi tersebut.
Faktor Ekonomi dan Politik
Thailand menghadapi pilihan sulit: bersekutu dengan Jepang atau berisiko menjadi musuh yang kalah dalam perang.Militer Thailand yang relatif kecil dan keterbatasan sumber daya membuat perlawanan terhadap Jepang hampir mustahil. Sementara itu, Inggris dan Amerika Serikat tidak mampu memberikan dukungan langsung karena fokus pada front Eropa dan Pasifik.
Phibun melihat peluang strategis dalam aliansi ini. Selain janji pengembalian wilayah, Jepang juga menawarkan bantuan ekonomi, teknologi, dan pelatihan militer.
Dalam Perjanjian Aliansi 21 Desember 1941, Thailand diberikan status sebagai sekutu penuh dengan janji dukungan diplomatik di tingkat internasional.
Meski demikian, hubungan ini tidak bebas dari ketegangan. Keberadaan pasukan Jepang sering kali memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat Thailand, terutama karena pelanggaran hak-hak sipil oleh tentara Jepang.
Peran Thailand dalam Perang
Thailand secara resmi bergabung dengan Blok Poros pada Januari 1942. Dalam perannya, Thailand mendukung Jepang dengan menyediakan jalur transportasi, logistik, dan tenaga kerja.Salah satu proyek yang paling terkenal adalah pembangunan Jalur Kereta Api Thailand-Burma, atau "Death Railway." Proyek ini mempekerjakan ribuan tenaga kerja paksa, termasuk tawanan perang, dan menyebabkan kematian lebih dari 100.000 orang akibat kondisi kerja yang brutal.
Proyek ini melibatkan pengerahan besar-besaran pekerja lokal dan tawanan perang dari berbagai negara seperti Inggris, Belanda, dan Australia. Jalur kereta sepanjang 415 kilometer ini melewati medan berat seperti hutan lebat, sungai, dan pegunungan.
Penyelesaian proyek yang dipercepat pada tahun 1943 dikenal dengan istilah "Speedo," yang meningkatkan tingkat kematian pekerja akibat kondisi kerja yang tidak manusiawi.
Thailand juga mengirimkan pasukan untuk mendukung operasi Jepang di kawasan. Wilayah seperti Laos dan Kamboja yang sebelumnya berada di bawah kontrol Prancis diberikan kepada Thailand sebagai bagian dari perjanjian dengan Jepang.
Namun, kontrol atas wilayah-wilayah ini bersifat sementara dan menjadi sumber ketegangan dengan penduduk lokal.
Selain itu, Thailand juga memanfaatkan situasi untuk memperluas pengaruhnya di kawasan. Wilayah-wilayah yang dianeksasi mencakup bagian dari Shan States di Burma, yang kemudian dikenal sebagai Saharat Thai Doem.
Meski demikian, wilayah ini dikelola dengan kesulitan akibat perlawanan lokal dan kurangnya infrastruktur yang memadai.
Dampak dan Akhir Aliansi
Meski awalnya dianggap sebagai strategi untuk mempertahankan kedaulatan, aliansi dengan Jepang membawa konsekuensi berat bagi Thailand.Ekonomi terguncang akibat inflasi yang melonjak, kekurangan bahan pokok, dan beban perang. Ketidakpuasan publik terhadap Phibun meningkat, yang akhirnya memaksa dia mundur pada tahun 1944.
Sementara itu, gerakan perlawanan dalam negeri, seperti Free Thai Movement, semakin menguat. Didukung oleh Inggris dan Amerika Serikat, gerakan ini berhasil mengkoordinasikan operasi sabotase dan pengumpulan intelijen yang membantu Sekutu.
Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Thailand segera mengambil langkah untuk merehabilitasi hubungannya dengan Sekutu.
Deklarasi perang Thailand terhadap Inggris dan Amerika Serikat dianggap tidak sah oleh pemerintahan baru, yang dipimpin oleh Pridi Banomyong.
Perjanjian damai dengan Sekutu menyelamatkan Thailand dari status "negara musuh" dan memungkinkan kembalinya wilayah-wilayah yang hilang tanpa hukuman berat.
Namun, Thailand tetap harus mengembalikan wilayah yang dianeksasi selama perang, termasuk bagian dari Laos, Kamboja, dan Burma.
Baca Juga:
Brimob Ledakkan Temuan Mortir Aktif Sisa Peninggalan Perang Dunia 2
Cek Berita dan Artikel yang lain di