Penembakan pada Jumat 15 Maret tersebut menewaskan 49 orang dan membuat sejumlah lainnya terluka. PM Ardern menyebut penembakan tersebut sebagai aksi terorisme.
Aturan kepemilikan senjata api di Selandia Baru relatif lebih renggang bila dibanding negara tetangganya, Australia. Negeri Kanguru lebih memperketat aturan senjata api usai terjadi peristiwa pembantaian pada 1996.
PM Ardern mengatakan pelaku penembakan di Christchurch -- bernama Brenton Tarrant asal Australia -- telah mendapatkan izin memegang senjata api "Kategori A" pada 2017. Dia menambahkan Tarrant diduga memodifikasi senjata api miliknya agar lebih mematikan.
"Pelaku memiliki izin dan senjata api secara resmi adalah sebuah fakta. Saya rasa tentu saja masyarakat menginginkan adanya perubahan, dan saya akan berkomitmen ke arah sana," ujar PM Ardern dalam sebuah konferensi pers di Christchurh, seperti disitir dari laman AFP.
"Saya bisa tegaskan satu hal pasti kepada kalian semua -- aturan senjata di negara kita ini akan berubah," lanjut dia.
Mengantisipasi peristiwa serupa, PM Ardern telah memerintahkan jajarannya untuk memeriksa segala bentuk aktivitas mencurigakan di ruang publik maupun media sosial. Hal ini dikarenakan Tarrant dan dua rekannya yang juga sudah ditangkap tidak masuk daftar pengawasan terorisme atau ekstremisme di agensi apapun.
Kepala Asosiasi Kepolisian Selandia Baru Chris Cahill menyambut baik tekad PM Ardern untuk mereformasi aturan senjata api. Menurutnya, reformasi semacam itu sulit dilakukan karena ada penentangan dari sejumlah kubu di Selandia Baru.
"Saya yakin saat ini ada banyak warga Selandia Baru terkejut dan bertanya-tanya mengapa ada seseorang yang bisa dengan mudah mendapatkan banyak senjata seperti itu," sebut Cahill.
Dia menyoroti "ironi" dari kasus ini, yakni pelaku membeli senjata di Selandia Baru karena tidak bisa mendapatkannya di Australia akibat ketatnya aturan di Negeri Kanguru.
Baca: Diinisiasi Indonesia, DK PBB Kecam Aksi Teror di Selandia Baru
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News