Salah satu penasihat utama Lam mengatakan bahwa pemerintah Hong Kong sempat menganggap remeh tingkat penentangan demonstran terhadap RUU. Hal ini menimbulkan keraguan pemerintah, mengenai apakah RUU ini sebaiknya segera diloloskan atau tidak menjelang akhir periode legislatif bulan depan.
Mengutip beberapa sumber, kantor berita South China Morning Post menyebut pemerintah Hong Kong tengah mempertimbangkan berbagai opsi, termasuk menunda RUU ekstradisi.
"Saya rasa tidak mungkin bisa mendiskusikan (RUU ekstradisi) di tengah konfrontasi seperti saat ini. Sangat sulit," ujar anggota Dewan Eksekutif Hong Kong kepada radio RTHK, dilansir dari laman The Straits Times, Sabtu 15 Juni 2019.
"Saat ini kita sebaiknya tidak meningkatkan intensitas konfrontasi," lanjut dia.
Meski jumlah demonstran di dekat gedung legislatif Hong Kong relatif sedikit pada Jumat 14 Juni, Lam membatalkan kehadiran di sebuah acara teknologi yang digelar Wall Stret Journal.
"Sejauh ini, semua orang sangat tidak senang dengan cara pemerintah menangani masalah (RUU ekstradisi)," tutur Feliz Chung, yang mewakili industri tekstil dan garmen di badan legislatif Hong Kong.
"Menurut saya hampir semua orang di Hong Kong tidak setuju mengenai mengapa (RUU ekstradisi) itu harus segera diloloskan," sambungnya.
Rabu kemarin, Lam menegaskan bahwa RUU ekstradisi diperlukan dalam mencegah Hong Kong menjadi semacam tempat pengungsian bagi buronan. Satu hari setelahnya, Tiongkok menegaskan kembali posisinya bahwa masalah tersebut sebaiknya tetap menjadi urusan dalam negeri Hong Kong.
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt telah berbicara dengan Lam pada Kamis kemarin. Hunt menyerukan Hong Kong untuk berdialog dengan para pengunjuk rasa. Hong Kong diserahkan kepada Tiongkok dari masa kepemimpinan kolonial Inggris pada 1997.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengaku yakin Hong Kong dan Tiongkok dapat menyelesaikan masalah RUU ekstradisi tersebut.
Baca: Hong Kong Kembali Normal Jelang Demo Lanjutan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News