Sebelumnya, Lam telah berkukuh tidak akan mencabut RUU tersebut meski berada di bawah tekanan unjuk rasa berskala masif di Hong Kong.
"Saya menyesalkan bahwa berbagai kekurangan dalam kinerja kami telah memicu kontroversi secara substansial," ujar Lam, dikutip dari laman BBC. Ia mengaku telah mendengarkan suara demonstran, yang salah satunya menyerukan pemerintah untuk "menunda dan berpikir" lebih jauh.
Lam juga mengakui bahwa "penjelasan dan sosialisasi" mengenai RUU kontroversial ini belum cukup memadai di tengah masyarakat.
Demonstran menolak RUU ekstradisi karena dinilai akan membuat Hong Kong seperti negara-negara lain di Tiongkok. Mereka ingin RUU dicabut agar Hong Kong tetap menjadi entitas yang bebas dari pengaruh Tiongkok.
Menurut Lam, dirinya mendorong RUU ekstradisi semata demi "kepentingan yang lebih besar" untuk Hong Kong. Beberapa hari lalu Lam menegaskan RUU ekstradisi ini dirancang agar Hong Kong tidak menjadi tempat persembunyian bagi para buronan kasus kriminal.
Setelah mengumumkan penundaan, Lam mengatakan belum ada tanggal pasti kapan RUU ekstradisi itu akan kembali diproses.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt telah berbicara dengan Lam pada Kamis kemarin. Hunt menyerukan Hong Kong untuk berdialog dengan para pengunjuk rasa. Hong Kong diserahkan kepada Tiongkok dari masa kepemimpinan kolonial Inggris pada 1997.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengaku yakin Hong Kong dan Tiongkok dapat menyelesaikan masalah RUU ekstradisi tersebut.
Baca: Pemimpin Hong Kong di Bawah Tekanan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News