Brenton Tarrant (tengah) hadir dalam persidangan kasus penembakan di pengadilan distrik Christchurch, Selandia Baru, Sabtu 16 Maret 2019. (Foto: AFP/MARK MITCHELL).
Brenton Tarrant (tengah) hadir dalam persidangan kasus penembakan di pengadilan distrik Christchurch, Selandia Baru, Sabtu 16 Maret 2019. (Foto: AFP/MARK MITCHELL).

Penembakan di Selandia Baru

Kelompok Supremasi Kulit Putih Tak Pernah Hilang

Arpan Rahman • 18 Maret 2019 15:51
Auckland: Seorang pakar peneliti ras dan hubungan etnis mengatakan dia telah memperingatkan pihak berwenang tentang ancaman dari kelompok supremasi kulit putih di Selandia Baru selama bertahun-tahun.
 
Baca juga: Teroris Brenton Tarrant Muncul di Pengadilan Selandia Baru.
 
Pada Jumat, serangan teroris sayap kanan atas dua masjid di Christchurch menewaskan lima puluh orang dan lima puluh lainnya terluka.

Sosiolog Massey University, Paul Spoonley, memperingatkan bahwa mungkin aksi itu telah memperkuat kelompok neo-Nazi dan berkata "kita harus siap" jika ada aksi serupa.
 
"Saya tidak akan mengharapkan sesuatu terjadi segera, tetapi saya hanya bertanya-tanya apakah kita akan mendapati seorang yang mencontohnya," katanya.
 
"Saya tidak tahu apakah kita akan mengalami aksi seperti itu lagi, tapi kita harus siap untuk itu. Kita tidak bisa terjebak dengan cara yang sekarang kita lakukan di mana seorang supremasi kulit putih ekstrem gampang mengakses senjata api," cetusnya, seperti dikutip dari laman NZ Herald, Senin 18 Maret 2019.
 
Pria Australia Brandon Tarrant, 28, telah didakwa dengan pembunuhan dan dituduh melakukan pembantaian terburuk dalam sejarah Selandia Baru.
 
Spoonley berkata ada kecenderungan di Selandia Baru dalam 10 hingga 15 tahun terakhir untuk melihat terorisme Muslim "sebagai yang utama dan mungkin satu-satunya ancaman yang harus kita pertimbangkan".
 
“Tetapi serangan pada Jumat harus mengakhiri kepolosan kita pada hal-hal semacam ini", katanya.
 
Tarrant awalnya dari Grafton di New South Wales tetapi pindah ke Dunedin sekitar dua tahun lalu. Dia menembak dan membunuh 50 orang di dua masjid dengan mengamuk yang difilmkan dan disiarkan langsung di Facebook.
 
"Saya akan sangat terkejut secara pribadi jika dia bertemu dan menghabiskan dua tahun di Selandia Baru tanpa berbicara dengan beberapa kalangan supremasi kulit putih baik di Christchurch atau di Dunedin," kata Spoonley.
 
Dia katakan supremasi kulit putih telah ada di Selandia Baru "sejak lama sekali". Spoonley mengamati lebih dari 70 kelompok sayap kanan ekstrem pada 1980-an, dan Christchurch adalah pusat gempa pada saat itu. “Kelompok-kelompok itu dan orang-orang itu belum hilang," katanya.
 
Mereka adalah campuran dari para skinhead (pemuda dari subkultur yang ditandai kepala plontos dan sepatu bot tinggi, sering dianggap agresif), neo-Nazi, dan sejumlah kelompok nasionalis ekstrem -- beberapa tradisional dalam ideologi mereka dengan fondasi kuat anti-Semitisme dan kepercayaan pada supremasi "ras Britania", Spoonley mengatakan, dan yang lain menginginkan separatisme tetap dipertahankan agar "ras putih tetap murni".
 
"Tahun lalu ada serangkaian insiden, satu aksi melemparkan kepala babi di sebuah masjid oleh neo-Nazi," katanya.
 
"Dari waktu ke waktu ada insiden yang melibatkan kelompok supremasi kulit putih di Christchurch ini yang secara efektif merupakan serangan terhadap minoritas agama dan etnis," serunya.
 
Muncul juga kekerasan dan pembunuhan, Spoonley mencatat. Pada 1989, seorang pengamat, Wayne Motz, ditembak oleh seorang skinhead di Christchurch, yang kemudian berjalan ke kios polisi setempat dan menembak dirinya sendiri. Ketika dia dimakamkan, foto-foto menunjukkan teman-temannya memberi hormat ala Nazi di sisi kuburan.
 
Seorang turis asal Korea dan seorang lelaki gay juga terbunuh karena alasan ideologis. "Mereka berada di Christchurch, tetapi mereka juga di Invercargill, Dunedin, Westport dan Nelson," katanya.
 
Spoonley mengatakan supremasi kulit putih merupakan "ancaman besar" bagi masyarakat Selandia Baru dan hubungan masyarakat yang tidak stabil. Aksi serangan berantai di dua masjid Jumat benar-benar mengubah cara "di mana kita melihat diri kita sendiri" dan "cara dilihat secara internasional", katanya.
 
"Orang-orang mendengar tentang supremasi kulit putih, hak ekstrem, serangan teroris di Selandia Baru yang tidak akan pernah mereka kaitkan dengan Selandia Baru," kata Spoonley.
 
"Kita seharusnya tidak mengabaikannya, kita harus berbicara tentang konsekuensinya dan bagaimana kita menempatkan hidup kembali ke jalurnya untuk diri kita sendiri dan masyarakat kita," tegasnya.
 
Baca juga: Kabinet Selandia Baru Sepakat Perketat Aturan Senjata Api.
 
Spoonley mengatakan opini publik dan politik "difokuskan di tempat lain" dan tidak berpikir cukup sumber daya telah dimasukkan ke dalam pemantauan berbagai kelompok supremasi kulit putih.
 
"Selama bertahun-tahun, saya telah mengatakan secara terbuka melalui media, saya telah berbicara dengan para pejabat, saya telah berbicara tentang hal-hal ini dalam pidato publik," katanya.
 
"Saya mendengarkan, tetapi saya mendengarkan dengan sopan dan saya bertanya-tanya apakah orang-orang pergi atau tidak dan mengatakan 'Saya tidak mengetahui kelompok-kelompok ini di komunitas saya' dan 'Saya tidak berpikir mereka masalah'," ujarnya.
 
Spoonley mengaku telah diberitahu oleh komunitas Muslim bahwa mereka telah berbicara dengan lembaga pemerintah tentang keprihatinan mereka, tetapi belum mendapat tanggapan yang memuaskan.
 
"Kita harus mengakhiri itu sekarang," katanya.
 
"Apa pun kondisinya, kita harus bertindak sebagai komunitas guna memastikan orang-orang ini tidak menjadi sasaran dan kehidupan mereka menjadi sulit," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan