Dinilai sebagai usaha terakhir untuk mempertahankan kekuasaan, PM O'Neill mendorong Mahkamah Agung untuk mencegah rencana pemungutan suara mosi tidak percaya di parlemen Papua Nugini.
PM O'Neill telah mengumumkan pengunduran dirinya pada Minggu 26 Mei. Namun hingga saat ini, ia belum menyerahkan berkas pengunduran dirinya ke jaksa agung.
Berkuasa sejak 2011, PM O'Neill mempertahankan posisinya di tengah banyaknya tokoh kabinet yang berpindah ke kubu oposisi. Kepindahan para tokoh itu dipicu kesepakatan yang dibuat PM O'Neill terkait proyek gas cair bernilai miliaran dolar dengan perusahaan Total dan ExxonMobil.
Masyarakat lokal mengecam keras proyek tersebut, yang dinilai tidak akan menguntungkan mereka dan hanya akan memperkaya jajaran penguasa.
Dikutip dari laman AFP, parlemen Papua Nugini berencana menggelar pemungutan suara mosi tidak percaya terhadap PM O'Neill pada 6 Juni mendatang. Dalam surat permohonan ke Mahkamah Agung, PM O'Neill mengaku ingin "memastikan kejelasan konstitusi dan proses hukum."
Menurut anggota parlemen oposisi Brian Kramer, Mahkamah Agung menolak mendengarkan permohonan PM O'Neill hari ini, dan menjadwalkannya untuk Jumat mendatang.
Saat mengumumkan pengunduran diri pada Minggu 26 Mei, PM O'Neill mengaku akan menyerahkan jabatannya ke mantan PM Papua Nugini Julius Chan.
"Penting bagi kami untuk tetap menjaga stabilitas. Kami telah mendengar seruan (mundur) dan menyepakati adanya perubahan pemerintahan," tutur O'Neill kepada awak media di Port Moresby.
Merespons keinginan PM O'Neill, Chan mengaku menginginkan adanya transisi pemerintahan yang berjalan mulus di Papua Nugini, negara dengan total populasi 7,3 juta jiwa.
"Saya ingin berterima kasih kepada Perdana Menteri Peter O'Neill atas semua yang telah beliau lakukan untuk negara ini," ucap Chan kepada para jurnalis.
Baca: Banyak Tokoh Pindah ke Oposisi, PM Papua Nugini Mundur
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News