Selama kampanye, Yoon melakukan langkah kontroversial. Ia menggaet erat kaum laki-laki pembenci perempuan.
Yoon pun bersumpah akan menghapus Kementerian Kesetaraan Gender. Namun, deklarasi itu kembali dipertanyakan usai ia sungguh memenangkan pemilihan presiden pada 10 Maret lalu.
Penghapusan kementerian membutuhkan undang-undang untuk mengatur ulang pemerintahan. Permintaan tersebut terlalu memusingkan untuk dirampungkan.
Hal ini disebabkan, ia tidak mengantongi suara mayoritas. Selain itu, Yoon masih belum dilantik, jadi ia tidak ingin mencemari representasi dirinya di muka publik.
"Kemungkinan bentrokan di Majelis Nasional dapat menodai citra pemerintahan baru," ujar seorang profesor ilmu politik di Universitas Myongji, Shin Yul, dilansir dari Malay Mail, Selasa, 12 April 2022.
Baca juga: Zelensky Minta Bantuan Senjata ke Korea Selatan
Negeri Ginseng akan menggelar pemilu lokal pada Juni mendatang. Partai Kekuatan Rakyat, partai Yoon, tidak ingin membuang modal politik untuk pertarungan legislatif.
Tim transisi Yoon mengungkap, mereka mempertahankan kementerian itu untuk sementara waktu.
Kementerian Kesetaraan Gender menjadi pusaran utama perdebatan seputar seksisme dan gender. Yoon dan pendukungnya kerap mengeklaim, kementerian tersebut mengembangbiakkan ‘radikal’.
Gerakan #MeToo di Korsel memang memobilisasi sejumlah isu sensitif. Generasi muda tak urung memulai percakapan serius atas hak perempuan hingga kekerasan seksual, termasuk revenge porn (pornografi balas dendam).
Revenge porn merupakan bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Pelaku KGBO tersebut menyebarkan gambar eksplisit orang lain secara daring dan tanpa persetujuan.
Melihat perempuan mulai bergerak, kelompok penentangnya di Korsel tak diam saja. Mereka turut meratapi nasib sendiri.
Yoon 'menguasai' para pemilik suara laki-laki dan mencap dirinya sebagai anti-feminis. Ia merayu para pria muda yang merasa pemerintah berlaku tak adil dan mengistimewakan kepentingan perempuan.
Yoon kemudian berjanji, ia akan segera menghapuskan kementerian 'feminis'. Kementerian ini menjadi target simbolis bagi ketidakpuasan laki-laki yang merasa perempuan diistimewakan.
"Sangat menyedihkan memiliki presiden terpilih yang secara aktif menyebarkan prasangka dan kebencian," ungkap seorang pemilih dan aktivis wanita berusia 26 tahun, Yujin.
Padahal, kementerian itu mendorong pemberdayaan perempuan di negara tersebut. Salah satunya adalah kebijakan yang memungkinkan ibu tunggal untuk mendaftarkan anak-anak atas nama mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News