Seoul: Penjaga pantai Korea Selatan (Korsell) meluncurkan penyelidikan ke dalam eksploitasi hak asasi manusia dan pelanggaran hak asasi manusia di kapal penangkap ikan jarak jauh Tiongkok yang dilaporkan oleh MBC. Mereka akan menanyakan ABK WNI yang berhasil selamat dari jerat perbudakan di kapal nelayan Tiongkok.
MBC News melaporkan pelaut Indonesia minum air laut setelah 18 jam kerja keras sehari. Bahkan ada dari mereka yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika rekannya ada yang meninggal dan dikubur di laut.
"Saya ingin membangun rumah untuk orangtua saya karena saya mendapatkan banyak uang saat bekerja di luar negeri. Sekarang saya sangat malu dengan orangtua saya,” ujar seorang anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban, dengan inisial ‘A’ kepada laporan media Korsel, MBC, yang dikutip Medcom.id, Kamis, 7 Mei 2020.
Baca: Media Korsel Laporkan Perbudakan WNI di Kapal Tiongkok.
Jam kerja dari ABK WNI ini juga tidak manusiawi. Mereka bekerja berdiri tanpa henti selama 30 jam dan hanya mendapatkan istirahat makan selama enam jam. Selama enam jam itu mereka manfaatkan untuk istirahat duduk.
Para ABK WNI itu diketahui akan pulang ke Indonesia pada 8 Mei. Namun pihak penyelidik Penjaga Pantai Korsel akan mengunjungi dan menyelidiki mereka hari ini. Adapun jadwal penyelidikan sebenarnya hanya satu hari, dan penjaga pantai dihadapkan pada kritik atas investigasi yang terlambat.
Seorang pelaut meninggal di sebuah rumah sakit di Busan tiga hari setelah memasuki Korea pada 24 April lalu. Tetapi kasusnya diperlakukan sederhana.
“Organisasi hak asasi manusia di Busan telah meminta untuk menyelidiki insiden itu. Namun pihak penjaga pantai mengacuhkan kasus itu selama lebih dari seminggu dan mengatakan bahwa kapal nelayan Tiongkok telah pergi,” laporan MBC.
Tapi dua hari yang lalu, segera setelah laporan MBC, penjaga pantai mengadakan pertemuan darurat dan mulai menyelidiki.
"Badan Kepolisian Maritim akan mengoordinasikan investigasi dengan Biro Maritim Tiongkok, Kedutaan Besar Tiongkok dan Kedutaan Besar Indonesia,” ujar Kepala Detektif Badan Kepolisian Maritim Korsel. Park Hong-sik, kepada MBC.
Protokol antiperdagangan manusia yang diratifikasi oleh Korea pada 2015 mendefinisikan kasus itu sebagai 'perdagangan manusia' jika korban ditipu untuk tujuan eksploitasi. Kasus-kasus perdagangan manusia juga dapat dihukum dengan menghukum kejahatan asing yang dilakukan di luar wilayah Republik Korea.
Namun penjaga pantai mengatakan penyelidikan itu sulit karena hanya pihak Tiongkok dengan kapal atau korban Indonesia yang memiliki yurisdiksi.
14 pelaut Indonesia yang terluka berada di karantina di fasilitas penginapan di Busan, di mana mereka tidak dapat mengisi periode kontrak dua tahun karena eksploitasi tenaga kerja. Mereka juga dihadapkan dengan hukuman besar dan krisis litigasi.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menegaskan, Pemerintah Indonesia memastikan mereka akan kembali ke Tanah Air pada 8 Mei 2020.
Judha menambahkan, Pemerintah Indonesia, baik melalui perwakilan Indonesia di Selandia Baru, Tiongkok dan Korea Selatan maupun di Pusat, memberi perhatian serius atas permasalahan yang dihadapi anak kapal Indonesia di kapal ikan berbendera RRT Long Xin 605 dan Tian Yu 8 yang beberapa hari lalu berlabuh di Busan, Korsel. Kedua kapal tersebut membawa 46 awak kapal WNI dan 15 diantaranya berasal dari Kapal Long Xin 629.
Baca: Kemenlu Akan Panggil Dubes Tiongkok Terkait Perbudakan ABK WNI.
Pada Desember 2019 dan Maret 2020, pada kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604, terjadi kematian tiga awak kapal WNI saat kapal sedang berlayar di Samudera Pasifik. Kapten kapal menjelaskan bahwa keputusan melarung jenazah karena kematian disebabkan penyakit menular dan hal ini berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.
MBC News melaporkan pelaut Indonesia minum air laut setelah 18 jam kerja keras sehari. Bahkan ada dari mereka yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika rekannya ada yang meninggal dan dikubur di laut.
"Saya ingin membangun rumah untuk orangtua saya karena saya mendapatkan banyak uang saat bekerja di luar negeri. Sekarang saya sangat malu dengan orangtua saya,” ujar seorang anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban, dengan inisial ‘A’ kepada laporan media Korsel, MBC, yang dikutip Medcom.id, Kamis, 7 Mei 2020.
Baca: Media Korsel Laporkan Perbudakan WNI di Kapal Tiongkok.
Jam kerja dari ABK WNI ini juga tidak manusiawi. Mereka bekerja berdiri tanpa henti selama 30 jam dan hanya mendapatkan istirahat makan selama enam jam. Selama enam jam itu mereka manfaatkan untuk istirahat duduk.
Para ABK WNI itu diketahui akan pulang ke Indonesia pada 8 Mei. Namun pihak penyelidik Penjaga Pantai Korsel akan mengunjungi dan menyelidiki mereka hari ini. Adapun jadwal penyelidikan sebenarnya hanya satu hari, dan penjaga pantai dihadapkan pada kritik atas investigasi yang terlambat.
Seorang pelaut meninggal di sebuah rumah sakit di Busan tiga hari setelah memasuki Korea pada 24 April lalu. Tetapi kasusnya diperlakukan sederhana.
“Organisasi hak asasi manusia di Busan telah meminta untuk menyelidiki insiden itu. Namun pihak penjaga pantai mengacuhkan kasus itu selama lebih dari seminggu dan mengatakan bahwa kapal nelayan Tiongkok telah pergi,” laporan MBC.
Tapi dua hari yang lalu, segera setelah laporan MBC, penjaga pantai mengadakan pertemuan darurat dan mulai menyelidiki.
"Badan Kepolisian Maritim akan mengoordinasikan investigasi dengan Biro Maritim Tiongkok, Kedutaan Besar Tiongkok dan Kedutaan Besar Indonesia,” ujar Kepala Detektif Badan Kepolisian Maritim Korsel. Park Hong-sik, kepada MBC.
Protokol antiperdagangan manusia yang diratifikasi oleh Korea pada 2015 mendefinisikan kasus itu sebagai 'perdagangan manusia' jika korban ditipu untuk tujuan eksploitasi. Kasus-kasus perdagangan manusia juga dapat dihukum dengan menghukum kejahatan asing yang dilakukan di luar wilayah Republik Korea.
Namun penjaga pantai mengatakan penyelidikan itu sulit karena hanya pihak Tiongkok dengan kapal atau korban Indonesia yang memiliki yurisdiksi.
14 pelaut Indonesia yang terluka berada di karantina di fasilitas penginapan di Busan, di mana mereka tidak dapat mengisi periode kontrak dua tahun karena eksploitasi tenaga kerja. Mereka juga dihadapkan dengan hukuman besar dan krisis litigasi.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menegaskan, Pemerintah Indonesia memastikan mereka akan kembali ke Tanah Air pada 8 Mei 2020.
Judha menambahkan, Pemerintah Indonesia, baik melalui perwakilan Indonesia di Selandia Baru, Tiongkok dan Korea Selatan maupun di Pusat, memberi perhatian serius atas permasalahan yang dihadapi anak kapal Indonesia di kapal ikan berbendera RRT Long Xin 605 dan Tian Yu 8 yang beberapa hari lalu berlabuh di Busan, Korsel. Kedua kapal tersebut membawa 46 awak kapal WNI dan 15 diantaranya berasal dari Kapal Long Xin 629.
Baca: Kemenlu Akan Panggil Dubes Tiongkok Terkait Perbudakan ABK WNI.
Pada Desember 2019 dan Maret 2020, pada kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604, terjadi kematian tiga awak kapal WNI saat kapal sedang berlayar di Samudera Pasifik. Kapten kapal menjelaskan bahwa keputusan melarung jenazah karena kematian disebabkan penyakit menular dan hal ini berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News