Aktivitas belajar mengajar di salah satu sekolah di Lhasa, Wilayah Otonomi Tibet, Tiongkok, 1 Juni 2021. (Hector RETAMAL / AFP)
Aktivitas belajar mengajar di salah satu sekolah di Lhasa, Wilayah Otonomi Tibet, Tiongkok, 1 Juni 2021. (Hector RETAMAL / AFP)

Tiongkok Wajibkan Penggunaan Bahasa Mandarin di Sekolah-Sekolah Tibet

Willy Haryono • 27 Oktober 2023 09:16
Tibet: Tiongkok telah melarang pengajaran dan penggunaan bahasa Tibet di sekolah dasar dan menengah di dua wilayah berpenduduk Tibet dan mengamanatkan bahwa semua pengajaran harus dalam bahasa Mandarin, menurut laporan kantor berita Radio Free Asia bulan Oktober ini.
 
Hal ini bukanlah fenomena baru dan merupakan bagian dari 'Sinifikasi' -- proses mengubah segala sesuatu agar sesuai budaya Tiongkok -- yang lebih besar di Daerah Otonomi Tibet (TAR) sejak tahun 1960-an. Tindakan tersebut dinilai dapat menyebabkan kepunahan bahasa Tibet di kedua wilayah tersebut dan membahayakan kelangsungannya di seluruh TAR.
 
Pemerintah Tiongkok dilaporkan memerintahkan pelarangan bahasa Tibet di sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah di Prefektur Otonomi Tibet Kardze dan Prefektur Otonomi Tibet Ngaba di Provinsi Sichuan, dimulai pada semester musim gugur pada September 2023. Larangan terbaru ini merupakan kelanjutan dari strategi yang diprakarsai Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang mewajibkan bahasa Mandarin di seluruh TAR.

Dalam kasus dua wilayah TAR, dinyatakan bahwa siswa sekolah menengah saat ini dapat mengikuti pelajaran bahasa Tibet selama dua tahun ke depan. Tetapi mulai tahun 2025, semua kelas akan berlangsung dalam bahasa Mandarin.
 
Sebelumnya, sekolah-sekolah negeri di wilayah tersebut mengajarkan kelas bahasa Tibet kepada siswanya dan juga sejumlah mata pelajaran lain termasuk matematika, sains, fisika, geografi, sejarah, dan ilmu sosial. Bahasa Mandarin juga diajarkan sebagai kursus bahasa.
 
Mengutip dari Tibet Press, Jumat, 27 Oktober 2023, Pemerintah Tiongkok kini telah mengarahkan pengajaran semua mata pelajaran sekolah dalam bahasa Mandarin di 12 kabupaten di seantero Prefektur Otonomi Ngaba Tibet. Larangan ini merupakan bagian dari program Sinifikasi yang juga membatasi bahasa dan budaya warga Uighur, Tibet, dan kelompok minoritas lainnya di Tiongkok. Sinifikasi dilakukan meski ada perlindungan dalam Konstitusi Tiongkok yang mengizinkan kelompok minoritas menggunakan bahasa daerah di wilayah mereka sendiri.
 
Pengenalan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar di seluruh sekolah menengah pertama dan atas di TAR dimulai pada 1960-an. Pada 2010, kebijakan ‘pendidikan bilingual’ diterapkan untuk sekolah-sekolah di seluruh wilayah minoritas di Tiongkok.

Mandarin sebagai Bahasa Pengantar

Di Tibet, banyak sekolah dasar dan bahkan taman kanak-kanak terpaksa menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengajaran bagi siswa Tibet. Menurut laporan Human Rights Watch (HRW) di tahun 2020, pemerintah Tiongkok telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjadikan bahasa Mandarin sebagai bahasa dominan di sekolah-sekolah Tibet.
 
Rencana PKT untuk mewajibkan bahasa Mandarin di seluruh TAR bukannya tanpa protes. Kebencian masyarakat dan pendidik pada 2020 terhadap perubahan bahasa pengantar ke Mandarin dari bahasa Tibet di sekolah dasar dan menengah di Prefektur Otonomi Tibet Ngaba berubah menjadi protes besar, sehingga proposal tersebut ditunda.
 
Pada semester musim gugur tahun 2021, semua taman kanak-kanak di wilayah etnis dan pedesaan di TAR, yang sampai saat ini belum menggunakan bahasa Mandarin dalam kegiatan pendidikannya, diwajibkan untuk melakukan hal tersebut. Guru juga diarahkan untuk menjalani pelatihan kemampuan penerapan bahasa umum nasional selama empat tahun pada tahun 2021-2025.
 
Di awal Agustus 2021, pihak berwenang di Kotapraja Tehor Rongbacha di Prefektur Otonomi Tibet Kham Kardze memerintahkan Sekolah Gyalten Getza untuk mengubah bahasa pengantar ke bahasa Mandarin dan mengadakan ujian dalam bahasa Mandarin. Sekolah-sekolah yang tidak mematuhi perintah tersebut terpaksa ditutup.
 
Bahasa Tibet digunakan secara luas tidak hanya di TAR di bagian paling barat Tiongkok, namun juga di wilayah tetangga di negara yang memiliki populasi Tibet yang besar. Misalnya, sekitar 90 persen dari satu juta penduduk di prefektur Kardze adalah orang Tibet.
 
Meski bahasa Tibet sebagai bahasa pengantar terus terkikis karena penekanan bahasa Mandarin oleh PKT, berbagai upaya dilakukan untuk menjaga bahasa Tibet tetap hidup. Di sini dapat disebutkan tentang pembentukan satuan tugas bahasa Tibet di bawah Peraturan Bahasa Tibet Area Kardze yang diadopsi pada 2015.
 
Larangan terbaru di kedua prefektur tersebut terjadi ketika pemerintah setempat secara lisan memberi tahu para guru dan orang tua untuk mulai menerapkan aturan baru tersebut do awal tahun ajaran baru. Setelah melarang pengajaran bahasa Tibet di Sekolah Menengah Chak-sam-kha di Provinsi Sichuan, para guru bahasa Tibet diminta untuk pindah ke daerah lain di mana pemerintah masih mengizinkan bahasa Tibet sebagai bahasa pengantar.
 
Langkah yang dilakukan saat ini disebut seorang pengamat sebagai "anarki lunak." Ia mengatakan kepada Radio Free Asia bahwa, "dengan dalih program pemerintah, Tiongkok berusaha menghapuskan sepenuhnya bahasa Tibet." Ia menambahkan bahwa tujuan PKT adalah untuk memusnahkan masyarakat Tibet dan sistem pendidikannya lewat suatu bentuk "kekejaman ringan."

'Lonceng Kematian'

Pengelola sekolah tidak memberi tahu orang tua siswa tentang perubahan bahasa pengantar dari Tibet ke Mandarin di berbagai mata pelajaran. Sebaliknya, pihak sekolah mengadakan pertemuan dengan jajaran guru yang diinstruksikan untuk mengajar mata pelajaran mereka dalam bahasa Mandarin.
 
Sejumlah sekolah menengah di daerah Zoege selama ini dikenal luas karena standar pengajaran bahasa Tibet sebagai bahasa pengantar. Namun sekolah-sekolah itu kini harus menerapkan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar utama tahun ini. Semua guru di sekolah menengah di negara Zoege telah diperintahkan untuk menerapkan tindakan tersebut.
 
Dalam Dialog Hak Asasi Manusia ke-38 di Brussels pada 17 Februari 2023, Uni Eropa menyampaikan keprihatinannya mengenai laporan baru Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengenai isu kekejaman Tiongkok terhadap minoritas Tibet dan penindasan terhadap "koeksistensi budaya dan pembatasan kebebasan mendasar, penggunaan kerja paksa, pembatasan hak atas proses hukum, dan kurangnya independensi peradilan." Disebutkan bahwa dunia semakin menyadari bahwa identitas dan budaya Tibet terus terkikis.
 
Kebijakan pendidikan Tiongkok di wilayah TAR adalah salah satu tindakan signifikan yang telah mengurangi akses etnis Tibet terhadap pendidikan dalam bahasa ibu mereka, menurut kesimpulan laporan Human Rights Watch di tahun 2020.
 
Kebijakan pemerintah Tiongkok, yang disebut "pendidikan bilingual," dalam praktiknya telah menyebabkan penggantian bahasa Tibet secara bertahap ke bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar di seluruh wilayah. Dalam jangka panjang, hal ini menandakan 'lonceng kematian' bagi bahasa Tibet.
 
Baca juga:  Kunjungi AS, Pemimpin Tibet Serukan Pengakuan Negara Merdeka Secara Historis

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan