Spanduk bertuliskan Uyghur Lives Matter terlihat dalam aksi unjuk rasa di Washington DC, AS, 27 Mei 2021. (ALEX WONG / Getty / AFP)
Spanduk bertuliskan Uyghur Lives Matter terlihat dalam aksi unjuk rasa di Washington DC, AS, 27 Mei 2021. (ALEX WONG / Getty / AFP)

Tiongkok Diduga 'Sandera' Uighur untuk Redam Protes, PBB Singgung Isu HAM

Willy Haryono • 09 Agustus 2023 09:55
Beijing: Kabar meresahkan kembali muncul seputar kelompok minoritas Muslim Uighur di Tiongkok. Muncul kabar bahwa Pemerintah Tiongkok 'menyandera' sejumlah keluarga Uighur di dalam negeri untuk menekan mereka yang tinggal di luar negeri agar mau bekerja sama dan memata-matai sejumlah aktivis hak asasi manusia yang kerap melakukan aksi protes.
 
Dikutip dari laman BBC, baru-baru ini, Dr David Tobin dari University of Sheffield telah melakukan beberapa penelitian paling komprehensif tentang topik Uighur, bersama dengan rekannya, Nyrola Elimä.
 
Mereka telah mewawancarai lebih dari 200 anggota diaspora Uighur di beberapa negara. Ia mengatakan bahwa semua orang Uighur yang tinggal di luar Tiongkok merupakan korban dari tindakan represi transnasional.

"Pemisahan keluarga adalah taktik utama," kata Tobin.
 
Bahkan di saat ada panggilan telepon, kerabat Uighur yang masih tinggal di Tiongkok tidak akan mengangkatnya, menurut Dr Tobin. Ia mengatakan mereka khawatir panggilan telepon seperti itu akan dipantau, dan ketakutan bahwa berkomunikasi secara bebas akan membahayakan mereka.
 
Pengungsi dan aktivis yang melarikan diri dari Tiongkok mengatakan bahwa metode intimidasi Tiongkok ini telah memicu keretakan signifikan dalam komunitas mereka, serta menyebabkan tekanan emosional di kalangan keluarga.
 
Salah satu kisah dari Uighur datang dari Aleem (nama samaran). Ia mengaku baru bisa melakukan panggilan video dengan ibunya, yang merupakan kontak pertama mereka dalam enam tahun terakhir sejak Aleem mencari perlindungan di Inggris.
 
Namun, pertemuan yang mengharukan ini berubah menjadi pahit karena panggilan itu dikendalikan individu tak dikenal. Uighur, minoritas mayoritas Muslim dari Tiongkok wilayah barat laut, hidup di bawah pengawasan konstan dan pembatasan komunikasi.
 
Karena interaksi mereka yang sensitif, seorang mediator memfasilitasi panggilan video antara Aleem dan ibunya. Memegang dua ponsel terpisah di depan satu sama lain, mereka berbagi sekilas kehidupan mereka sambil berjuang untuk tetap berkomunikasi di tengah suara teredam dan gambar yang buram.
 
Pertemuan emosional berubah menjadi menyeramkan ketika Aleem menerima telepon berikutnya dari seorang individu yang diduga merupakan polisi Tiongkok. Diduga dipaksa, ia diinstruksikan untuk menghadiri pertemuan aktivis hak asasi manusia Uighur, mengumpulkan data intelijen, dan menyampaikan informasi kepada otoritas Negeri Tirai Bambu.
 
Aleem mengaku diminta untuk memantau protes anti-Tiongkok di London dan memberikan rincian tentang para peserta. Rekaman panggilan ini telah dibagikan dengan sebuah saluran berita, menggambarkan taktik tekanan yang digunakan otoritas Tiongkok.
 
Selanjutnya, Aleem ditawari insentif keuangan untuk berteman dengan pemimpin kelompok kampanye dan bersosialisasi dengan mereka di restoran untuk mengumpulkan informasi secara diam-diam. Polisi Tiongkok itu bahkan menyarankan Aleem mendirikan bisnis untuk menghindari kecurigaan tentang kekayaannya yang tiba-tiba bertambah -- mengungkapkan lapisan manipulasi yang lebih mendalam.
 
Nada mengancam dari interaksi ini menyiratkan kepatuhan dengan menyelamatkan keluarga dari ancaman. Uighur di luar negeri merasa terjebak dan dieksploitasi, ucap Aleem. "Mereka menggunakan keluarga saya sebagai sandera. Saya hidup dalam kegelapan," ungkapnya.

Kekhawatiran PBB

Dr. Tobin mengatakan bahwa Tiongkok melakukan kontrol terhadap individu di luar negeri dengan memanfaatkan kesejahteraan keluarga mereka. Taktik semacam itu membahayakan keselamatan dan kebebasan orang Uighur, memaksa mereka untuk mematuhi tuntutan Tiongkok.
 
Selain di Inggris, Uighur di Turki -- yang secara historis merupakan tempat perlindungan bagi mereka -- juga mengalami taktik pemaksaan dari otoritas Tiongkok. Laporan menunjukkan bahwa polisi dari Tiongkok menekan Uighur di Turki untuk memata-matai komunitas mereka sendiri, yang menyebabkan ketidakpercayaan dan perpecahan di antara diaspora.
 
Pengungkapan tersebut menyoroti sifat luas dan berbahaya dari dugaan intimidasi Tiongkok terhadap aktivitas Uighur di luar negeri, melukiskan gambaran suram tentang sejauh mana pemerintah Tiongkok bersedia untuk mempertahankan kendali dan membungkam perbedaan pendapat.
 
Sebelumnya pada Maret lalu, Kepala Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) Volker Turk menuntut tindakan Tiongkok untuk mengatasi kondisi memprihatinkan serta dugaan pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas Uighur yang ada di Xinjiang dan Tibet serta wilayah lainnya.
 
"Mengenai Tiongkok, kami telah berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk menindaklanjuti masalah hak asasi manusia," kata Turk.
 
"Di wilayah Xinjiang, saya telah melihat kondisi yang memprihatinkan - penahanan sewenang-wenang berskala besar dan pemisahan keluarga - dan telah membuat rekomendasi penting yang memerlukan tindakan lanjut dan konkret," tambahnya.
 
Satu bulan sebelumnya, Parlemen Kanada dengan suara bulat menyetujui untuk memukimkan kembali 10.000 pengungsi Uighur yang melarikan diri dari persekusi Tiongkok.
 
Mosi itu didasari oleh langkah yang diambil pada Februari lalu oleh anggota parlemen Kanada untuk melabeli perlakuan Beijing terhadap Uighur dan Muslim Turki lainnya di wilayah barat laut Xinjiang sebagai genosida.
 
Baca juga:  PBB Desak Tiongkok Tangani Dugaan Pelanggaran HAM Terhadap Uighur
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan