Ilustrasi Laut China Selatan. Foto: AFP
Ilustrasi Laut China Selatan. Foto: AFP

Kita Berkawan maka Konflik di Laut China Selatan Meredam

Wandi Yusuf • 31 Maret 2024 14:07
Jakarta: Hidup damai tanpa rongrongan konflik hampir mustahil. Apalagi macam negara Indonesia yang luas dan kaya akan sumber daya. Ancaman kedaulatan selalu datang.
 
Negara lain berupaya untuk mencoba mengeklaim kedaulatan negara kita dengan berbagai cara. Tak terkecuali di Laut China Selatan.
 
Meski Indonesia merupakan negara yang tak menuntut klaim atas Laut China Selatan (non-claimant state), tapi logika itu coba terus diganggu. Terbaru, China memperluas klaim atas Laut China Selatan dengan istilah 10 Garis Putus-Putus. Garis yang semakin menyayat batas hak berdaulat Indonesia.

Bagaimana Indonesia harus bersikap dengan klaim serampangan tersebut? Sementara status China adalah mitra komprehensif strategis bagi Indonesia dan ASEAN. China pun punya peran sentral dalam perdamaian dan stabilitas ASEAN.
 
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto menyadari jika klaim China itu membuat ancaman kedaulatan semakin nyata, meski hanya bersandar pada hak sejarah.
 
"Republik Rakyat Tiongkok (China) kembali secara unilateral mengeluarkan peta baru, menambah satu Garis Putus-Putus dari 9 menjadi 10 pada 2023. Artinya, RRT mengeklaim seluruh wilayah Laut China Selatan, bahkan tumpang tindih dengan Laut Natuna Utara Indonesia," kata Hadi saat menjadi pembicara kunci dalam Webinar bertema Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan, dikutip dari tayangan Youtube Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS), Minggu, 31 Maret 2023.
 
Hadi menggarisbawahi jika klaim itu bisa menjadi ancaman kedaulatan nasional bahkan internasional. Apalagi dengan laku China yang selalu mengelak dan menolak meski hukum internasional sudah menetapkan bahwa klaim mereka keliru belaka.
 

Posisi seksi Laut China Selatan

Ditinjau dari perspektif geopolitik dan geostrategi, posisi Laut China Selatan amat seksi. Sepertiga kapal kargo dunia wira-wiri di perairan ini. 
 
Laut China Selatan juga mengandung sumber daya alam yang amat besar, terutama gas alamnya. Perairan ini juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa.
 
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) mencatat, China mulai mengeklaim Laut China Selatan pada 1947. China membuat 9 Garis Putus-Putus dengan sesumbar mengakui semua kepulauan yang ada di sana sebagai wilayah kedaulatan mereka.
 
Terang saja enam negara yang teritorialnya diklaim menjadi berang. Keenam negara itu adalah Taiwan, Singapura, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sebagian besar adalah negara-negara anggota ASEAN.
 
Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) pada Juli 2016 tegas menolak klaim China atas 90 persen perairan di Laut China Selatan. Sidang yang berlangsung di Den Haag, Belanda, itu memutuskan klaim Negeri Tirai Bambu itu tak didukung bukti sejarah.
 
Baca: CSIS: Kerusakan Laut China Selatan Makin Buruk akibat Aktivitas Manusia

Keputusan PCA itu menjadi angin segar bagi negara-negara yang teritorinya diklaim China. Maklum, sejak 1947 China selalu merasa dialah pemilik sah sebagain besar Laut China Selatan. Tetap saja, China mengabaikan keputusan PCA itu.
 
Di sisi lain, Amerika Serikat yang selalu menggaungkan kebebasan bernavigasi (freedom of navigation) ikut-ikutan memanasi. Hal ini membuat Laut China Selatan menjadi ajang proyeksi kekuatan negara besar. Tak ayal jika geopolitik di Asia Tenggara disebut berkutat antara perebutan pengaruh AS dan China.
 

Peran strategis Indonesia

Meski Indonesia bukan negara yang ikut menuntut klaim atas Laut China Selatan, namun posisinya strategis. Sebagai negara terbesar di ASEAN, tindakan Indonesia menjadi penting bagi kelanjutan konflik di sana. Patut dicatat bahwa sebagian besar negara ASEAN terdampak akan klaim dari China atas Laut China Selatan.
 
Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Prof Makarim Wibisono, mengatakan posisi Indonesia juga menjadi penting karena memiliki hubungan baik dengan seluruh negara yang terlibat di Laut China Selatan. Tak terkecuali dengan Amerika Serikat. 
 
"Integrasi ASEAN tetap menjadi hal yang diutamakan. Ketika suatu wilayah mengalami konflik, maka membuat peluang pihak eksternal mengintervensi wilayah konflik tersebut," kata Makamrim dikutip dari laman resmi Unair.
Kita Berkawan maka Konflik di Laut China Selatan Meredam
Pertemuan ASEAN-Tiongkok di Jakarta. Foto: AFP
 

1. Pendorong COC ASEAN-China

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto menyatakan Indonesia terus berperan aktif dalam upaya perdamaian para pengeklaim, baik di tataran bilateral maupun regional ASEAN. Sebagai bukti, Indonesia mampu mendorong percepatan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan antara ASEAN dengan China.
 
CoC yang dibentuk untuk menghindari terjadinya insiden dan mengelola konflik di kawasan itu sempat berjalan lambat. Pada 2023, saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN, disepakatilah CoC harus difinalisasi dalam kurun tiga tahun, yakni hingga 2025.
 
"CoC ini diharapkan jadi dokumen efektif, substantif, dan aksionabel. Agar ada mutual trust dan mutual confident negara-negara yang berkepentingan di Laut China Selatan," kata Hadi.
 

2. Berdiplomasi lewat AOIP

Tak hanya lewat COC, Indonesia juga mendorong penyelesaian konflik di Laut China Selatan melalui Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP). Laman Kementerian Luar Negeri menyatakan AOIP merupakan penegasan posisi ASEAN dalam peranannya menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Asia Pasifik dan Samudra Hindia (Indo-Pasifik).
 
Atas inisitif Indonesia, pada 2019 ASEAN berhasil menyepakati AOIP. Kesepakatan ini bersifat inklusif dengan merangkul seluruh negara berkekuatan mayor, termasuk Amerika Serikat dan China.
 
"Ke depan AOIP diharapkan menjadi building plot arsitektur keamanan regional yang mampu menjaga stabilitas dan keamanan ASEAN di Indo-Pasifik," kata Hadi.
 
Baca: Produktif! Pertemuan ASEAN-Tiongkok Adopsi Dua Dokumen Kerja Sama
 

3. Gagas Diplomasi 1,5

Upaya Indonesia menyelesaikan konflik di Laut China Selatan juga dilakukan dengan menggagas Diplomasi 1,5 atau dikenal dengan Dialog Track 1,5. Diplomasi alternatif ini sudah dilakukan sejak 1990. Diplomasi ini melibatkan pemerintah, akademisi, think tank, hingga para ahli.
 
"Hasil workshop menunjukkan bahwa di tengah ketegangan Laut China Selatan akibat tumpang-tindih klaim maritim, ruang kerja sama tetap terbuka. Dan confidence building mission masih diperlukan untuk menghindari eskalasi konflik," kata Hadi.
 
Total sudah lebih dari 30 workshop dihasilkan dari Diplomasi 1,5 ini. Upaya konsisten ini, kata Hadi, menjadi saksi di tengah perubahan Indonesia yang tidak menentu dan lanskap regional yang terus berubah. 
 
"Artinya, kita menunjukkan komitmen kuat untuk bekerja sama menyelesaikan konflik di Laut China Selatan," kata dia.
 

Mencari kawan

Berdasarkan tiga upaya strategis itu, Hadi menyimpulkan bahwa mencari kawan atau pertemanan merupakan sarana paling strategis. Tak terkecuali dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan.
 
"Mencari kawan dan pertemanan di Laut China Selatan merupakan hal yang sangat penting," kata mantan Panglima TNI itu. 
 
Hadi menegaskan kunci dialog dengan China adalah melalui ASEAN. Indonesia sebagai natural leader di ASEAN adalah motor penggerak yang selalu menghasilkan terobosan. 
 
"Untuk itu, kita perlu memperkuat soliditas dan sentralitas ASEAN serta membangun posisi bersama ASEAN untuk isu Laut China Selatan," kata Hadi.
 
Co-Founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS), Erik Purnama Putra, juga menyatakan mencari kawan adalah hal paling strategis menyelesaikan persoalan di Laut China Selatan. Kajian ISDS mendapati bahwa ancaman kedaulatan di Laut China Selatan tidak bisa ditangani sendiri oleh Indonesia.
 
"Indonesia harus menggandeng ASEAN menyuarakan aspirasi. Sebagai negara nonblok, Indonesia tidak bisa membentuk aliansi militer. Justru harus mencari kawan untuk mengatasi masalah bersama," kata Erik.
 

Perlukah membentuk aliansi militer?

Pembentukan aliansi militer atau aliansi pertahanan mengemuka dalam Survei Persepsi Masyarakat Terkait Kedaulatan Negara yang dilakukan Litbang Kompas. Sebagian besar responden menyatakan Indonesia harus membentuk aliansi militer dengan sejumlah negara ASEAN maupun negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan China. 
 
"Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat yang menghendaki pembentukan aliansi pertahanan ini mencapai 35,3 persen," kata peneliti dari Litbang Kompas, Dimas Okto Danamasi.
Kita Berkawan maka Konflik di Laut China Selatan Meredam
Sumber: Survei Litbang Kompas
 
Duta Besar Indonesia untuk Filipina Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo mengatakan, secara logika, pembentukan aliansi militer bisa saja menjadi jawaban penyelesaian konflik di Laut China Selatan. Tapi, dia menggarisbawahi bahwa masyarakat juga harus memahami adanya doktrin nasional.
 
"Indonesia tak akan pernah memilih opsi aliansi militer karena ada syarat-syarat yang harus dipenuhi," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) periode 2016 hingga 2022 ini.
 
Pembentukan aliansi militer pun membutuhkan adanya musuh bersama. Sehingga, anggota atau negara yang sepakat membentuk aliansi militer harus menentukan negara mana yang menjadi musuh bersama tersebut. Kemudian yang lebih penting, kata Agus, aliansi militer akan cenderung menjadi magnet yang akan semakin membuat ancaman semakin meningkat.
 
"Pembentukan aliansi militer dengan negara adidaya pun berarti kita sudah berpihak atau menempati salah satu blok. Berarti (doktrin nasional) sudah tidak nonblok lagi," kata Agus.
 

Nikmati saja negosiasi

Agus justru setuju diplomasi atau negosiasi adalah cara paling tepat untuk merawat perdamaian di Laut China Selatan. Meski, waktu yang dibutuhkan sangat lama. 
 
"(Diplomasi) tidak harus diselesaikan dalam waktu satu minggu atau satu bulan, tapi bisa berjalan dalam jangka waktu lama. Artinya, nikmati saja negosiasi itu sampai kesepakatan tercapai," kata Agus. 
 
Menurut dia, diplomasi menjadi ujung tombang dari upaya penyelesaian konflik di Laut China Selatan. Agus menyebut diplomasi sebagai elements of national power atau elemen penting dari kekuatan nasional.
 
"Apalagi perimbangan kekuatan itu ada pada kita," ujar lulusan AKABRI Tahun 1970 itu.
 

Perkuat pertahanan dalam negeri

Sambil terus berdiplomasi dan memperbanyak kawan, pemerintah juga tak lupa merespons eskalasi di Laut China Selatan dengan memperkuat pertahanan dan keamanan di dalam negeri. Salah satunya adalah mendorong proyek besar dalam penguatan keamanan di Laut Natuna Utara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.
 
"Penguatan dilakukan melalui kecukupan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan peningkatan sarana dan prasaran satuan terintegrasi TNI," kata Menko Polhukam Hadi Tjahjanto. Hal ini tertuang di dalam Peraturan Presiden No 18 Tahun 2000 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 hingga 2024.
Kita Berkawan maka Konflik di Laut China Selatan Meredam
Ilustrasi tank. Foto: Dok ISDS
 
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Irvansyah mengatakan penjagaan negara atas konflik di Laut China Selatan pun tak serta-merta harus selalu mengedepankan TNI. Karena, yang justru dihadapi Indonesia di wilayah Laut Natuna Utara lebih banyak kapal-kapal sipil seperti kapal ikan dari Vietnam, kapal ikan China, hingga kapal coastgruad China.
 
"Saya sampaikan ke beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, atau Malaysia, apabila yang dimajukan militer maka tensi di Laut China Selatan cenderung naik," kata Irvansyah.
 
Baca: Tiongkok Kecam Provokasi Filipina yang Picu Ketegangan di Laut China Selatan

Pendekatannya justru lebih lunak ketika yang dikedepankan adalah diplomasi sipil bukan militer, dalam hal ini perundingan antar-badan keamanan laut ASEAN atau coastguard. Menurut dia, kerja sama coastguard antarnegara ASEAN harus diperkuat.
 
"Jadi istilahnya tertib sipil, bukan status darurat militer, terutama dengan negara-negara yang masuk kategori claimant state," kata dia.
 
Untuk menuju ke arah sana, lanjut Irvansyah, Bakamla menginisiasi forum pertemuan coastguard ASEAN. Saat ini Indonesia memimpin pertemuan tersebut dan selanjutnya akan diserahkan ke Filipina pada Juli mendatang di Davos.
 
"Kita berencana melaksanakan latihan bersama antar-coastguard se-ASEAN. Seperti yang juga dilakukan oleh TNI melalui Garuda Shield-nya," kata dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan