Dilansir dari VOA, Kamis, 9 Desember 2021, foto dan video mayat di desa Done Taw di kawasan Sagaing beredar luas pada Selasa. Mereka disebut telah diambil, tak lama setelah orang-orang itu dibunuh dan tubuh mereka dibakar.
Materi diketahui tidak dapat diverifikasi secara independen. Sebuah akun yang diberikan kepada The Associated Press (AP) oleh seseorang yang mengatakan, ia telah pergi ke tempat kejadian umumnya cocok dengan deskripsi insiden yang dimuat oleh media independen Myanmar.
Baca: Tentara Myanmar Bunuh 11 Warga dan Membakar Mayatnya.
Hingga kini, pemerintah Myanmar belum mengomentari tuduhan tersebut. Jika dikonfirmasi, itu dinilai akan menjadi kekejaman terbaru, menyusul perebutan kekuasaan oleh militer pada Februari dan penggulingan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Awalnya, pengambilalihan itu disambut dengan protes jalanan tanpa kekerasan. Namun, setelah polisi dan tentara menggunakan kekuatan mematikan terhadap para demonstran, kekerasan meningkat saat penentang kekuasaan militer mengangkat senjata guna membela diri.
Saksi yang berbicara kepada AP mengatakan, terdapat sekitar 50 tentara berbaris ke desa Done Taw sekitar pukul 11:00 waktu setempat pada Selasa. Mereka menangkap siapa saja yang tidak berhasil melarikan diri.
“Mereka menangkap 11 penduduk desa yang tidak bersalah,” kata saksi yang menggambarkan dirinya sebagai petani dan aktivis, serta meminta untuk tidak disebutkan namanya demi keselamatannya sendiri.
Ia menambahkan, orang-orang yang ditangkap bukanlah anggota Tentara Pertahanan Rakyat (PDF) yang terorganisir secara lokal. Pasukan tersebut diketahui melibatkan tentara dalam pertempuran.
Saksi pun mengatakan, para tawanan diikat tangan di belakang mereka dan dibakar. Ia tidak memberikan alasan atas serangan tentara tersebut. Akun di media Myanmar mengatakan, mereka tampaknya telah bertindak sebagai pembalasan atas serangan pagi itu oleh anggota PDF.
Saksi lain yang dikutip di media Myanmar mengatakan, para korban adalah anggota pasukan pertahanan. Meskipun, saksi yang berbicara kepada AP menggambarkan mereka sebagai anggota kelompok perlindungan desa yang kurang terorganisir secara formal.
Terdapat kegiatan perlawanan di kota-kota dan pedesaan, namun pertempuran paling mematikan di daerah pedesaan. Disana, tentara disebut dapat melepaskan kekuatan yang lebih besar terhadap sasarannya.
Dalam beberapa bulan terakhir, perjuangan paling tajam dilaporkan terjadi di Sagaing dan daerah lain di barat laut. Dugaan insiden itu dikecam tajam oleh Pemerintah Persatuan Nasional bawah tanah Myanmar (NUG), yang telah memantapkan dirinya sebagai Badan Administratif Alternatif Myanmar menggantikan pemerintah yang dipasang militer.
“Pada tanggal 7 Desember di wilayah Sagaing, adegan memuakkan yang mengingatkan pada kelompok teroris Negara Islam (ISIS) menjadi saksi atas meningkatnya aksi teror oleh militer,” ujar juru bicara organisasi tersebut, Sasa dalam sebuah pernyataan.
“Kebrutalan, kebiadaban, dan kekejaman dari tindakan ini menunjukkan kedalaman kebobrokan baru, dan membuktikan bahwa, terlepas dari kepura-puraan relatif yang terlihat selama beberapa bulan terakhir, junta tidak pernah berniat untuk mengurangi kampanye kekerasan mereka,” tambah Sasa, yang menggunakan satu nama.
Tuduhan itu disebut mengikuti hukuman atas Suu Kyi terkait tuduhan penghasutan dan melanggar pembatasan covid-19 serta hukumannya empat tahun penjara pada Senin. Masa hukuman yang dengan cepat dipotong setengahnya oleh pihak pengadilan.
Tindakan pengadilan tersebut secara luas dikritik sebagai upaya lebih lanjut oleh penguasa militer Myanmar, untuk mengembalikan keuntungan demokrasi dalam beberapa tahun terakhir.
Di New York, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNSC) pada Rabu menyatakan, “keprihatinan mendalam” atas hukuman Suu Kyi, menggulingkan Presiden Myanmar, Win Myint dan lainnya serta mengulangi seruan sebelumnya.
Seruan itu disebut bertujuan untuk pembebasan semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang sejak pengambilalihan militer 1 Februari.
“Anggota UNSC sekali lagi menekankan dukungan berkelanjutan mereka untuk transisi demokrasi di Myanmar dan menggarisbawahi perlunya menegakkan institusi dan proses demokrasi, menahan diri dari kekerasan, melakukan dialog konstruktif dan rekonsiliasi sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar. Selain itu, menghormati sepenuhnya hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta menjunjung tinggi supremasi hukum,” jelas pernyataan dewan. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News