Pada Senin lalu, Tiongkok merilis peta terbaru. Dalam peta itu, terlihat garis berbentuk 'U' yang menutupi hampir 90 persen perairan Laut China Selatan.
Perairan tersebut menjadi sumber banyak perselisihan dan diperebutkan, karena menjadi tempat lewatnya perdagangan senilai lebih dari USD3 triliun setiap tahunnya.
Pada Kamis kemarin, Filipina meminta Tiongkok untuk bertindak secara tanggung jawab.
"Mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan keputusan arbitrase tahun 2016 yang menyatakan bahwa garis tersebut tidak memiliki dasar hukum," kata Filipina, dilansir dari Channel News Asia, Jumat, 1 September 2023.
Protes Malaysia
Malaysia juga telah mengajukan protes diplomatik atas peta tersebut.
Tiongkok mengatakan garis tersebut didasarkan pada peta bersejarahnya. Belum jelas apakah peta terbaru menunjukkan adanya klaim baru atas wilayah tersebut.
Garis berbentuk U di Tiongkok berputar sejauh 1.500 km (932 mil) di selatan pulau Hainan dan memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.
“Upaya terbaru untuk melegitimasi kedaulatan dan yurisdiksi Tiongkok atas wilayah dan zona maritim Filipina tidak memiliki dasar berdasarkan hukum internasional,” kata Kementerian Luar Negeri Filipina.
Malaysia dalam sebuah pernyataan mengatakan peta baru tersebut tidak memiliki otoritas yang mengikat atas Malaysia, yang “juga memandang Laut China Selatan sebagai masalah yang kompleks dan sensitif”.
Peta tersebut berbeda dengan versi lebih sempit yang diserahkan oleh Tiongkok ke PBB pada tahun 2009 mengenai Laut China Selatan yang mencakup apa yang disebut “sembilan garis putus-putus”.
Peta terbaru adalah wilayah geografis yang lebih luas dan memiliki garis dengan 10 garis putus-putus yang mencakup Taiwan yang diperintah secara demokratis, mirip dengan peta Tiongkok 1948. Tiongkok juga menerbitkan peta dengan garis putus-putus ke-10 pada 2013.
Indonesia angkat bicara
Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi angkat bicara terkait Peta Standar Tiongkok 2023. Ia menegaskan, penarikan garis wilayah itu harus sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982).
"Penarikan garis apa pun, klaim apa pun yang dilakukan harus sesuai dengan UNCLOS 1982," kata Retno.
Menlu juga menyebut bahwa hal tersebut merupakan sikap yang selalu konsisten dipegang Indonesia dalam hal kedaulatan wilayah.
"Posisi Indonesia ini bukan posisi yang baru, tetapi posisi yang selalu disampaikan secara konsisten," pungkasnya.
Baca juga: Tanggapi Peta Standar Tiongkok 2023, Menlu Retno: Harus Sesuai UNCLOS 1982
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News