Dalam pernyataannya, Menlu Retno juga menjelaskan bagaimana fenomena terorisme semakin berkembang pesat lewat wajah-wajah baru, salah satunya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi TIK untuk melakukan perekrutan, pendanaan, dan penyebaran ideologi.
Di samping itu, fenomena radikalisme serta ekstremisme berbasis kekerasan yang dilatarbelakangi motivasi ras, suku, etnis dan agama juga menjadi semakin marak terjadi di berbagai belahan dunia.
Berdasarkan keterangan di situs Kemenlu RI, Jumat, 8 September 2021, terdapat dua langkah kolektif yang disebutkan Menlu Retno dalam upaya mengatasi hal dimaksud.
Pertama, perlunya memastikan seluruh negara dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi tantangan terorisme global yang terus berevolusi. Dalam hal ini, upaya bersama dalam mengatasi terorisme harus senantiasa sejalan dengan upaya dalam kerangka PBB, khususnya Global Counter Terrorism Strategy (GCTS) maupun kesepakatan internasional lainnya.
Kedua, pentingnya menerapkan pendekatan yang inovatif dalam upaya pencegahan terorisme, termasuk melalui upaya penguatan masyarakat untuk mencegah penyebaran ideologi radikal dan membangun narasi kontra-radikalisasi yang kuat. Dalam hal ini, Indonesia telah mengesahkan Rencana Aksi Nasional mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Eksremisme berbasis Kekerasan (RAN-PE).
Menlu Retno juga berharap agar perayaan 10 tahun GCTF dapat dimanfaatkan sebagai momentum bersama untuk terus meningkatkan kontribusinya dalam mendorong kerja sama internasional di bidang penanggulangan terorisme.
GCTF merupakan salah satu forum di luar kerangka PBB beranggotakan 30 negara, yang tujuan untuk memobilisasi upaya membangun kerja sama kontra terorisme global. Indonesia dipercaya sebagai Co-Chairs Working Group on Countering Violent Extremism sejak 2017 hingga 2022 mendatang.
Baca: Kompolnas Sebut Upaya Pembubaran Densus 88 Menyesatkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News