Selasa lalu, Kementerian Luar Negeri militer Myanmar mengatakan telah meminta berbagai organisasi keamanan internasional untuk bekerja sama dengan junta Myanmar untuk melawan "terorisme". Istilah tersebut digunakan untuk menyebut tindakan lawannya, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional (National Unity Government/NUG) yang merupakan pemerintah bayangan de facto negara tersebut.
“Interpol tidak akan menyediakan bantuan untuk permintaan apapun yang dapat menarik organisasi kami ke dalam masalah terkait politik dalam negeri seperti pemberitahuan untuk lawan politik, pengkritik pemerintah, atau dalam konteks kudeta, dan lain-lain,” kata Interpol dalam pernyataannya, dilansir dari Channel News Asia, Kamis, 10 Februari 2022.
Menteri Luar Negeri yang dilantik tentara Myanmar Wunna Maung Lwin mengadakan pertemuan diplomatis yang mengundang para duta besar dan pejabat PBB pada hari Selasa di Yangon.
Dalam pertemuan tersebut, Wunna Maung Lwin menuduh NUG, Komite yang Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), dan Tentara Pertahanan Rakyat (PDF) melakukan tindakan terorisme berupa pembunuhan warga sipil dan staf pemerintah, serta menimbulkan kerusakan terhadap bangunan umum seperti sekolah, rumah sakit, dan jembatan.
CRPH dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan setelah kudeta 1 Februari 2021. NUG kemudian juga didirikan, diikuti oleh PDF, yang saat ini sedang melancarkan "Perang Pertahanan Rakyat" melawan militer.
Dalam sebuah pernyataan, Kemenlu tentara Myanmar mengatakan telah meminta badan kontra-terorisme PBB dan ASEAN, pimpinan Polisi ASEAN (ASEANPOL) dan Interpol untuk memberi perlawanan terhadap NUG, CRPH, PDF, dengan menyebut permohonan "kerja sama positif dalam perjuangan melawan terorisme".
Tuduhan kontradiktif
Tentara Myanmar sendiri berulang kali disebut melakukan pembunuhan massal dan penyiksaan.Sedikitnya dalam dua konferensi pers online selama sebulan terakhir, NUG mempresentasikan pernyataan saksi dan rekaman video sebagai bukti bahwa tentara Myanmar melakukan kejahatan terhadap warga sipil.
Di antaranya, NUG menyebut kasus pembunuhan massal di negara bagian Kayah pada Malam Natal di mana lebih dari 30 orang dibunuh dan dibakar di beberapa kendaraan. Jumlah tersebut termasuk korban wanita dan anak-anak.
NUG menyampaikan akan menggunakan bukti-bukti yang dikumpulkannya untuk menuntut ganti rugi secara hukum melalui berbagai saluran internasional, salah satunya Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Sejak terjadinya kudeta, lebih dari 1.500 warga sipil diyakini telah dibunuh oleh junta Myanmar. Angka tersebut diambil dari kompilasi data yang dikumpulkan oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). (Kaylina Ivani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News