Serangkaian foto dan video di media sosial memperlihatkan "unjuk rasa diam," di mana jalan-jalan di kota terbesar Myanmar, Yangon, terlihat lengang. Warga Myanmar memilih tinggal di rumah masing-masing, dan para pengusaha juga menutup bisnisnya untuk menyatakan perlawanan terhadap junta militer.
Sejumlah bentrokan dan kekerasan dilaporkan terjadi di peringatan satu tahun kudeta, di tengah kondisi Myanmar yang disebut beberapa pakar PBB sudah mirip seperti perang saudara.
Media lokal memberitakan bahwa sebuah ledakan menewaskan setidaknya 2 orang dan melukai puluhan lainnya dalam pawai pro-militer di kota Myanmar yang berbatasan dengan Thailand. Tidak diketahui penyebab ledakan tersebut.
Sebelum aksi "unjuk rasa diam" pada Selasa kemarin, masyarakat Myanmar beramai-ramai berbelanja kebutuhan sehari-hari. Di Yangon, warga telah melakukan aktivitas belanja sehari sebelumnya, yakni pada Senin, 31 Januari. Rombongan flashmob pro-demokrasi kemudian berlangsung di sejumlah titik kota Yangon pada Selasa dini hari.
Setidaknya ada 6 pengeboman yang dilakukan kelompok resistensi di Yangon pada Senin lalu. Pengeboman lain terjadi Selasa pagi, di mana seorang anak laki-laki berusia 7 tahun tewas tertembak peluru nyasar polisi, sebagaimana dilaporkan media lokal The 74 Media.
Meski diberlakukan pengamanan ketat di kota-kota seperti Yangon, Mandalay, dan Sagaing, sejumlah demonstran yang terdiri dari kelompok pemuda hingga biksu Buddha, melaksanakan unjuk rasa damai saat dini hari. Mereka mengangkat tiga jari sebagai simbol perlawanan, sebuah gestur yang diadaptasi dari film "The Hunger Games."
Junta Myanmar kini mengancam tindakan tegas kepada para pemilik usaha dan masyarakat yang ikut serta dalam aksi mogok nasional. Surat kabar milik pemerintah, Alinn Daily, melaporkan penangkapan terhadap puluhan pebisnis yang menutup usahanya di momen peringatan 1 tahun kudeta.
Kudeta Myanmar pada 1 Februari 2021 menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi. Kudeta terjadi di saat pemerintahan Suu Kyi baru saja hendak memulai sesi parlemen, setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang telak dalam pemilihan umum pada November 2020. Militer Myanmar mengaku melakukan kudeta karena merasa pemilu 2020 dipenuhi kecurangan.
Aksi protes terjadi tak lama usai kudeta. Meski awalnya damai, unjuk rasa pedemo antti-kudeta kerap berujung bentrok dengan aparat keamanan yang telah menewaskan setidaknya 1.500 warga sipil.
Peringatan setahun kudeta juga menarik perhatian mancanegara, terutama Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Barat yang mengkritisi perebutan kekuasaan oleh junta Myanmar.
Baca: Setahun Kudeta Myanmar, Indonesia Kecam Lima Poin Konsensus Tanpa Kemajuan
Presiden Joe Biden sempat mengeluarkan pernyataan yang meminta pasukan militer untuk mengakhiri kepemimpinan, membebaskan Suu Kyi, dan mengembalikan Myanmar ke jalur demokrasi.
AS memberlakukan sanksi baru kepada para pejabat Myanmar, yang sebelumnya telah dijatuhkan kepada sejumlah pimpinan militer. Langkah ini berdampak pada pembekuan seluruh aset yang dimiliki oleh para pejabat Myanmar di bawah yurisdiksi AS. Sanksi juga melarang warga AS untuk berbisnis dengan mereka. Inggris dan Kanada memberlakukan tindakan serupa.
Dalam pernyataannya dalam momen peringatan 1 tahun kudeta Myanmar, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyoroti, "intensifikasi kekerasan, krisis hak asasi manusia (HAM) dan kemanusiaan yang semakin parah, serta peningkatan kemiskinan yang pesat di Myanmar.” (Kaylina Ivani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News