Salah satu alasan para pelajar tetap tinggal di rumah adalah karena keamanan. Seorang siswa mengatakan beberapa kali ledakan terjadi di sejumlah sekolah.
"Sekolah saya belum diserang, tapi saat saya mendengar suara ledakan di sekolah lainnya, saya ketakutan. Jadi saya memilih untuk tetap diam di rumah," kata siswi di Kota Pyay tersebut, dilansir dari Al Jazeera, Kamis, 18 November 2021.
Ia bercerita, sebelum kudeta, sekolahnya memiliki hingga 600 siswa. Tetapi sejak kudeta dan sekolah kembali dibuka, hanya sekitar 20 anak yang masuk.
Rasa takut diserang bukan hanya alasan mereka tidak berangkat sekolah. Ketidakhadiran ini juga menjadi bentuk protes terhadap militer, yang mengambil alih kekuasaan lewat kudeta pada 1 Februari lalu.
Baca juga: Aung San Suu Kyi Didakwa atas Dugaan Kecurangan Pemilu Myanmar
Sejak Juli tahun ini, sekolah di Myanmar ditutup karena kasus covid-19 yang semakin melonjak. Orang tua pun menolak mengirim anak-anak mereka kembali ke sekolah selama kudeta masih berlangsung.
"Sekolah dioperasikan militer dan sebagai seorang revolusioner, saya menolak mengirimkan anak saya (sekolah)," kata orang tua siswa dengan nama samaran Nay Zin Oo.
"Jika kami, orang tua memilih untuk mengantarkan anak ke sekolah, artinya kami mendukung militer. Saya hanya akan mengirim mereka saat kudeta berakhir," lanjut ayah tiga anak itu.
Menurutnya, memboikot sekolah bisa jadi bentuk protes kuat terhadap militer. Ia mengatakan, akan berjuang mengembalikan demokrasi ke Myanmar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News